Dinasti Politik Penguasa Indragiri Hulu

Indragiri Hulu,(cMczone.com) – Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam menduduki jabatan politik seperti DPR, DPD, DPRD, Bupati, Walikota, Gubernur, dan Presiden melalui mekanisme pemilu. Hak politik ini telah diatur didalam undang – undang.

Indragiri Hulu menjadi salah satu daerah yang akan menyelenggarakan pesta demokrasi pemilihan bupati dan wakil bupati ditahun 2020 ini. Sudah banyak calon yang menyatakan siap untuk maju sebagai bupati ataupun wakil bupati, mulai dari kalangan politisi, birokrat, profesional, dan yang lainnya, semuanya berdalih akan mampu mebawa perubahan dikabupaten tempat kerajaan Indragiri berdiri.

Yopi Arianto tidak lagi bisa mencalonkan diri sebagai bupati, hal ini karena ia telah menjabat selama dua periode. Maka itu pertarungan politik menuju kursi “raja” Indragiri Hulu akan diperebutkan orang – orang baru. Iya, tentunya “raja” yang saat ini sedang duduk dikursi singgasana bupati Indragiri Hulu tidak ingin kehilangan pengaruhnya dalam penentuan “pewaris takhtah”.

Partai Gokar INHU yang juga dipimpin oleh bupati INHU saat ini telah mengumumkan dua nama calon Bupati yang tidak lain adalah keluarga “raja” saat ini. Rezita Maylani Yopi yang merupakan istri Yopi Arianto dan Bobby Rachmat yang merupakan ipar Yopi Arianto.

Baca Juga :   Sampaikan Tausiyah di Masjid Darussalam, Ansar Ajak Jamaah Jaga Nikmat Allah

Dilihat dari fenomena itu seakan – akan “raja” yang berkuasa ini tidak ingin melepas jauh – jauh singgasananya. Perahu atau partai yang dipimpinya telah menunjuk “putra dan putri mahkota” pengganti jika masa jabatan “raja” habis. Hal yang lumrah memang jika melihat fenomena membangun dinasti politik di Indonesia. Nicollo Machiavelli pernah mengatakan “kekuasaan harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah”. Hal seperti itu dalam poltik sah – sah saja tidak ada undang – undang yang melarang. Bahkan MK telah “melegalkan” dinasti politik dengan membatalkan pasal 7 huruf (r) dari Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2015.

Mengambil tulisan Esty Ekawati, ia mengatakan dalam tulisannya Dilema Politik Dinasti di Indonesia (2015), praktik ini jadi kian masif lantaran ada kebijakan otonomi daerah yang melahirkan demokratis ditingkat lokal, dimana pemimpin daerah dipilih langsung oleh warganya. Tingginya ongkos politik dan “keuntungan” yang didapat jika menjadi kepala daerah membuat makna demokrasi bergeser. Orang – orang yang ingin duduk sebagai kepala daerah tidak bisa dilepaskan dari pejabat petahana atau dinasti politik sebelumnya.

Baca Juga :   Ansar: Sebagai Anak Daerah, Saya Malu Kalau Kepri Tak Maju

Terlihat indikasi praktek pembangunan “dinasti politik” oleh petahana “raja” Indragiri Hulu yang mengusungkan nama istri dan ipar melalui perahu yang dipimpinya. Hal ini akan menimbulkan prespektif dikalangan masyarakat saat ini, akan menimbulkan ekses negatif dari hasrat berkuasa yang sering menimbulkan persoalan diruang publik. Spekulasi – spekulasi akan bermunculan sehingga keluar kata – kata “asalkan keluarga yang berkuasa”.

Kita ingin praktek demokrasi yang memberikan edukasi cerdas bagi masyarakat. SBY pernah mengatakan, meskipun undang – undang tidak melarang orang yang memiliki hubungan kekerabatan menduduki jabatan didaerah, ada batasan norma kepatutan. Sehingga waktu itu rancangan undang – undang pilkada, namun undang – undang itu ditolak oleh masyarakat.

Masyarakat Indragiri Hulu ingin praktek pemerintahan yang bersih yang dijalan sesuai dengan norma – norma kebaikan yang muaranya ialah pembangunan daerah dan masyarakat. Memang akan selalu ada persoalan disetiap periode kekuasaan, secara catatan personal dan juga pandangan dimata publik, “raja” Indragiri Hulu saat ini tidak ada tersangkut kasus – kasus yang mencoreng moral daerah, hanya saja birokratnya masih ada yang terlibat kasus korupsi. Hal ini menandakan bahwa adanya peluang yang diberikan oleh kepada daerah kepada birokrasinya untuk melakukan hal tersebut.

Baca Juga :   Kisah Menuju Puncak Kesuksesan

Kalau kita melihat fenomena dinasti politik di Indonesia itu banyak melahirkan “kader – kader” KPK yang dijebloskan dipenjara. Dan besar harapan masyarakat Indragiri Hulu agar “raja” nya tidak lagi menjadi tersangka korupsi. Apalagi dengan rentannya masalah pada “dinasti politik”. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan salah satu pihak.

Memang sulit untuk membatasi hak orang untuk berpartisipasi dalam politik, karena undang – undang negara ini telah menjamin dengan seluas – luasnya. Semoga siapapun nanti yang menjadi “raja” Indragiri Hulu selanjutnya mampu memperbaiki hal – hal yang kurang baik dalam pemerintahan saat ini, dan mampu melanjutkan hal – hal positif yang ada.

Febri Romadhon
Mahasiswa Ilmu Pemrintahan Universitas Islam Riau
Masyarakat Indragiri Hulu