Gelap Terang Dakwah di Media Sosial.

Oleh : Abdurrahman Ahady (Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN IB PADANG)*

(cMczone.com)- Seiring kemajuan zaman, dakwah telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan, mulai dari jumlah pengikut, metode, dan media yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Tak perlu bersusah payah pergi ke seorang ustadz atau guru untuk belajar ilmu agama. Barangkali juga bukan masanya untuk berlelah-lelah membaca kitab-kitab keagamaan klasik, apalagi dari sumber aslinya. Hanya dengan bermodalkan gawai seharga ratusan ribu rupiah, seseorang sudah bisa mengakses materi keagamaan dengan mudah. Cara yang paling umum adalah dengan mengikuti akun media sosial para pendakwah lalu materi keagamaan pun bisa diakses dengan mudah.
Mengingat banyaknya sekarang penggiat media sosial, maka tak salah jika Facebook, Twitter, Instagram ataupun Whatsapp menjadi pilihan yang cukup efektif sebagai media dakwah. Beberapa pendakwah yang sudah banyak terkenal dimedia sosial seperti Abdul Somad, Adi Hidayat, Abdullah Gymnastiar, Hannan Attaki, Felix Shiauw, dan lain sebagainya memiliki akun media sosial dengan jutaan pengikut. Bayangkan, jika seandainya seluruh akun pengikut tersebut adalah akun aktif, maka jutaan orang membaca pesan keagamaan hanya dalam satu kali klik saja.

*Perkembangan Teknologi Informasi Sebagai Sarana Dakwah*
Teknologi Informasi telah banyak mengubah berbagai aspek kehidupan, tidak terkecuali pada dakwah keagamaan. Perkembangannya yang terus menanjak telah melahirkan media sosial sebagai salah satu bentuk kemajuan. Media sosial yang sangat digemari oleh banyak kalangan semakin merubah pola konsumsi informasi dengan kemampuannya mewadahi kecendrungan individu untuk terhubung dan berbagi pengalaman dengan orang lain.
Berangkat dari kecendrungan tersebut, maka tidak salah jika banyak informasi-informasi maupun pesan-pesan dengan mudah dapat viral dan tersampaikan dari para oknum pendakwah kepada publik sebagai bentuk dakwah keagamaan. Pemanfaatan media sosial sebagai sarana dakwah ini merupakan bungkus menarik untuk menebarkan kebaikan dan pembelajaran kepada berbagai kalangan yang sudah haus terhadap pencerahan keagamaan yang sekarang cukup susah untuk didapatkan secara langsung. Terutama bagi mereka yang disibukkan dengan pekerjaan. Tentu cukup sulit jika harus menghadiri majelis-majelis pengajian yang seringkali waktunya bentrok dengan jadwal sehari-hari. Maka teknologi informasi sejenis media sosial adalah pilihan yang begitu cepat dan tepat sebagai sarana agar terpenuhinya kebutuhan kerohanian.

*Dakwah Media Sosial dalam Dua Titik Persinggungan*
Beredarnya pesan bertema agama di media sosial adalah salah satu contoh betapa mudahnya memuaskan hasrat pengalaman dan pengetahuan keagamaan. Tidak hanya dalam bentu pesan dari berbagai da’i favorit saja, fenomena pesan visual (meme) berupa foto dan gambar bertuliskan kata-kata hikmah ataupun kutipan ayat suci dan hadits pun juga membuat belajar agama di media sosial semakin menyenangkan.
Untuk berdakwah di media sosial, seseorang tidak harus menjadi ulama yang menguasai seluk-beluk ilmu secara mumpuni. Cukup dengan duduk sambil bersantai saja dan menuliskan beberapa paragraf pesan bertema keagamaan lalu mengunggahnya di media sosial. Setelahnya, tinggal menunggu berapa banyak orang yang akan menanggapi, menyukai, dan memberikan komentar pada pesan yang dikirimkan. Inilah kemapuan media sosial dalam menyampaikan pesan secara anonim yang menjadikan siapapun bisa menjadi pendakwah.
Beranjak dari sisi positif tersebut, media sosial juga memiliki titik persinggungan yang berlawanan. Keunggulannya sebagai sarana yang mudah diakses juga dapat menjadikannya sebagai jalan yang membahayakan. Bagaimana tidak, kecepatan dalam memproduksi dan mengosumsi informasi pada saat yang sama mengabaikan analisa dan kejernihan dalam menyerap pesan. Penyebaran pesan menjadi tidak terkontrol karena begitu cepatnya copy-paste oleh beberapa pengguna akun media sosial. Akibatnya ke-shahih-an ¬informasi tidak lagi menjadi pertimbangan utama dan orang-orang pun menjadi larut dalam pesan-pesan instan yang bisa jadi tidak bermakna apapun, selain sebagai ajang pemer ke-shaleh¬-an dan dianggap menguasai bidang ilmu keagamaan.
Menelisik lebih jauh kedalam, pesan-pesan yang disebarkan menjadi tidak bisa dipertanggung jawabkan. Hal ini tidak hanya berisi kumpulan materi yang menyeru pada kebaikan bersama, tetapi juga berisi provokasi dan ujaran kebencian kepada suatu kalangan, atau bahkan informasi palsu yang mampu menyesatkan. Ruang publik yang diciptakan media sosial bukan lagi menjadi sarana pencerahan, tetapi malah sebaliknya. Media sosial menjadi ruang kontradiksi dengan ajaran keagamaan yang menyuruh pada kebaikan, perdamaian dan pemberantasan maksiat.
Walaupun setiap individu yang ada diberikan kebebasan untuk berpendapat dan berargumen sesuai kemampuannya masing-masing apalagi untuk menyebarkan konten agama, namun penyebaran pesan semacam ini haruslah menjadi perhatian yang tidak boleh disepelekan. Karena dapat membawa umat pada sisi kebodohan dan kesesatan yang tidak diinginkan. Kecermatan dalam memilih dan memilah informasi yang disajikan hendaknya menjadi pertimbangan utama dalam bermedia. Jika tidak, maka media sosial bukan lagi menjadi sarana yang mumpuni untuk berdakwah. Tetapi malah menjadi kesempatan penyebaran fitnah, kebencian, perpecahan dan hal-hal lain yang dapat menjauhkan dari kebaikan dan perdamaian.