Dede Farhan Aulawi, Jelaskan Human Intelligence dan Technology Intelligence

Bandung,(cMczone.com) – “Sungguh menarik jika kita berbicara seputar dunia intelijen, baik dari perspektif kecerdasan dan kecekatan orangnya maupun kecanggihan teknologinya. Ketika kita mendengar istilah “intelijen”, barangkali fikiran secara otomatis akan membayangkan hebatnya James Bond intelijen Inggeris ataupun Ethan Hunt intelijen AS dalam film Mission Imposible. Dua kata menarik dalam konteks ini, yaitu Human Inteligence dan Technology Intelligence yang sekaligus merupakan dua variabel yang menjadi satu kesatuan. Secanggih apapun teknologi yang tersedia akan tidak bermanfaat jika orang tidak bisa menggunakannya. Begitupun sebaliknya seceerdas apapun orangnya akan kurang otimal kerjanya jika tidak ditunjang oleh teknologi yang canggih. Dua instrumen inilah yang menjadi pilar inteligen di masa yang akan datang. Oleh karenanya dalam membuat perencanaan intelijen harus menyiapkan SDM dan inovasi teknologinya. Coba perhatikan saja bagaimana transformasi teknologi dalam Kancing Kamera, Mikro Pistol, Kacamata Recorder, Bom Tikus, Rectal Toolkit, Enigma, dan lain – lain “, ujar Ketua Perhimpunan Mata Elang Indonesia (PERMEI) Dede Farhan Aulawi yang disampaikan di Bandung, Jum’at (2/10).

Seiring dengan hal tersebut, PERMEI dikenal sebagai desainer intelijen yang sangat intens dalam mencetak kualitas SDM intelijen yang kompeten dan profesional. Di saat yang bersamaan juga melakukan hal yang sama di bidang teknologi intelijen, agar kedua variabel tersebut senantiasa seiring dan sejalan dalam merancang dan melakukan operasi – operasi intelijen.

Orang intelijen adalah mata dan telinganya para pengambil keputusan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan. Siklus intelijen yang dimulai dari pengumpulan informasi, lalu disortir dan dianalisa agar bisa disajikan menjadi sebuah data, tentu sangat membutuhkan manusia – manusia cerdas yang ditunjang dengan peralatan canggih yang digunakan dalam dunia intelijen. Dengan demikian tingkat efektivitas dan produktivitas intelijen bisa diukur secara objektif. Apalagi dunia intelijen itu tidak akan lepas dari jargon kecerdasan dan kecanggihan. Imbuh Dede.

Terlebih saat ini kita memasuki era revolusi industri 4.0 yang menandai babak baru masuknya digitalisasi peradaban ke seluruh sendi kehidupan. Dari satu sisi ini menandakan tantangan dalam pemanfaatannya, namun dari sisi lain kaki tetap berpijak di bumi yang menandai sebuah realitas bahwa adaptasi terhadap berbagai lompatan teknologi tentu tidaklah mudah. Dalam konteks ini, jejaring dan kerjasama yang luas menjadi kata kunci. Adaptibilitas pergaulan sekaligus kemampuan membangun jejaring menjadi sangat penting. Tidak semata – mata diterjemahkan dalam dalam penetrasi untuk menciptakan kondisi saja, tetapi sebuah langkah preventif untuk memelihara agar suatu kondisi yang diinginkan tetap kondusif.

Baca Juga :   Kenapa Napoleon Bonaparte Lebih Takut Sama Wartawan ?

Masyarakat awam tentu akan melihat bahwa dunia saat ini relatif dalam kondisi aman. Namun perspektif intelijen akan berbicara lain, dimana dunia saat ini sedang memasuki babak baru pertempuran virtual tanpa batas. Setiap menit bahkan setiap detik, serangan siber dari satu titk ke titik lainnya terus bergerak bahkan ada trend mengalami peningkatan. Pergeseran paradigma medan pertempuran telah memasuki babak baru, dimana lini infiltrasi menggunakan instrumen dan metode yang selalu baru, selalu berubah, dan sistem yang semakin canggih.

Jika merujuk pada “The Six Ds” (digitized, deceptive, disruptive, demonetized, dan dematerialized), maka dalam konteks ini teknologi telah menjelma menjadi driver utama dari perubahan tatanan dunia, termasuk di Indonesia. Semua ini pada akhirnya akan bermuara pada anomali transformasi ekonomi seiring dengan perkembangan teknologi. Dalam tataran praktis mensikapinya tentu tidak mudah, dimana sebagian orang sudah memandang bahwa teknologi saat itu telah mulai menjelma menjadi sebuah ideologi (Digitalism Idiology). Doktrin – doktrin yang muncul dalam teknologi seringkali dianggap sebagai sebuah kebenaran “mutlak”, sehingga jika tidak disaring dengan kedewasaan berfikir akan mempengaruhi pola fikir, pola sikap dan cara pandang hidupnya. Untuk itulah kemampuan institusi dan perangkat intelijen dalam memprediksi, mencegah, mendeteksi, dan merespon perubahan dunia yang berpengaruh terhadap kepentingan nasional menjadi sangat strategis. Ungkap Dede.

Baca Juga :   'Kepri Bersemangat di Tangan Ansar Ahmad'

“ Orientasi pusat gravitasi teknologi intelijen harus didasarkan pada kemampuan industri dalam negeri dengan menggandeng berbagai institusi – institusi yang memiliki kapabilitas mumpuni, serta kecerdasan intelektualitas anak bangsa yang tidak diragukan lagi loyalitas dan dedikasinya pada bangsa dan negara. Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan orang – orang yang cerdas dan penuh kreativitas, yang dengan mudah bisa melakukan transfer teknologi dan inovasi – inovasi peralatan intelijen. Pelibatan mereka agar menjadi satu kesatuan dalam membela kepentingan nasional perlu semakin dimaksimalkan agar memberikan nilai guna yang optimal “, pungkas Dede mengakhiri pembicaraan.