Pak Ansar Ahmad yang Saya Kenal

Oleh: Suryanti

Pada tahun 2006 lelaki ini pernah datang ke rumah saya di Desa Lancang Kuning, Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Waktu itu saya masih kelas 2 SMA. Saya ingat betul, dia datang ke rumah saya pas hari Minggu sekitar pukul 10.00 pagi. Dia datang dengan pakaian baju training biasa yang ditemani dua orang dengan pakaian yang sama.

“Assalamu ‘Alaikum, Pak De ada di rumah?” katanya waktu dia datang dan masih berdiri di teras rumah saya yang sangat sederhana.

Saya yang sedang menyapu ruang tamu agak kaget dengan kedatangannya. Agak tergugup saya menjawab salamnya dan mempersilahkan masuk.

“Maaf, pak. Bapak saya lagi di kebun menanam ubi dan jagung. Sebentar ya pak, saya panggil sebentar,” kata saya sambil dengan cepat-cepat pergi ke kebun yang tak jauh dari rumah untuk memanggil bapak.

Tak lama kemudian Bapak datang dan menemuinya di ruang tamu.

“Eh, Pak Ansar. Waduh ngimpi apa saya semalam koq Pak Bupati mampir ke rumah saya. Silahkan duduk dulu, Pak. Maaf, saya mau ganti baju dulu,” kata Bapak saya ketika menyambut kedatangan lelaki itu yang belakangan saya tahu ternyata beliau adalah Bupati Bintan, H. Ansar Ahmad, SE, MM.

Baca Juga :   Setelah Jadi Sorotan, Pemdes Desa Catur Rahayu Pasang Papan Informasi Kegiatan

“Nggak usah ganti baju Pak De. Wis, biasa wae. Baju training saya juga bau keringat ini. Tadi habis gotong royong di Tanjung Uban terus mampir ke sini,” katanya sambil duduk di kursi ruang tamu.

“Nduk, bikinkan kopi untuk Pak Bupati yo,” kata Bapak saya sambil mempersilahkan Pak Ansar dan dua orang yang menemaninya duduk .

Setelah kopi saya hidangkan, saya sengaja duduk di lantai tidak jauh dari beliau yang sedang terlibat obrolan santai penuh dengan keakraban dengan Bapak. Beliau juga menikmati pisang rebus yang ikut dihidangkan untuk menemani secangkir kopi.

Waktu itu, Pak Ansar minta didoakan agar dirinya bisa berhasil memimpin Kabupaten Bintan. Karena kondisi jalan depan rumah saya waktu itu masih jalan tanah, Pak Ansar juga berkata kepada Bapak bahwa akan diupayakan sebisa mungkin agar jalan tersebut bisa diaspal atau setidaknya disemenisasi.

“Pak De, aku njaluk didongakno. Ben lacar mimpin Bintan dan iso bangun jalan di depan rumah Pak De,” kata Pak Ansar dengan Bahasa Jawa yang kaku.

“Iya, Pak Bupati. Saya doakan terus. Biar pembangunan sukses di Kabupaten Bintan,” kata Bapak saya sambil menemaninya minum kopi.

Dari obrolan yang saya simak, betapa Pak Ansar seolah tidak ada jarak dengan masyarakat kecil seperti Bapak saya. Orang kampung yang sehari-hari hanya berkebun dan tidak mengerti dunia politik.

Baca Juga :   Plh Bupati Kampar kukuhkan 30 Orang Paskibrata 

Tapi kalau saya amati di situlah Pak Ansar sebenarnya ingin mendengar suara jujur dari masyarakat yang dipimpinnya.

Dan apa yang dijanjikan Pak Ansar kepada Bapak saya, dalam waktu tidak sampai lima tahun ditunaikan.

Seluruh jalan dan infrastruktur di Desa Lancang Kuning dibangun bagus. Tidak hanya jalan, jembatan dan parit, listrik 24 jam akhirnya juga bisa dinikmati masyarakat Lancang Kuning.

Bagi kami orang kampung, kedatangan Pak Bupati Ansar Ahmad ke rumah saya tahun 2016 tersebut menjadi sebuah kebanggaan bagi kami dan keluarga.

Sampai kemudian ada sebuah sejarah terulang yang tidak saya sangka-sangka ketika suatu hari di tahun 2019 saya dan beberapa orang teman sedang makan siang di sebuah warung makan di KM 14 Tanjungpinang.

Waktu itu, beliau bersama rombongan juga mampir di kedai yang sama untuk makan siang. Saya masih ingat, ketika beliau masuk ke kedai makan tersebut semua orang yang berada di situ disalaminya dengan penuh keramahan.

Senyum dan sapa lembutnya saya perhatikan dari dulu, dari tahun 2016 ketika beliau pertama datang ke rumah saya, masih juga tidak berubah.

Baca Juga :   Wadanlantamal IV Tinjau Pelaksanaan Serbuan Vaksin Covid-19 TNI-AL di Desa Mantang

Sikap menghargai orang-orang di sekitarnya selalu terpatri dalam pribadi Pak Ansar.

Ketika kami selesai makan siang dan pergi ke kasir untuk membayar, belum lagi saya membuka dompet pihak pemilik kedai makan sudah mengatakan kalau sudah dibayar semuanya oleh Pak Ansar.

Saya hanya bisa tertegun. Karena cukup banyak juga saya dan empat orang teman makan siang di kedai tersebut. Tapi semua sudah dibayar oleh Pak Ansar.

Saya datangi beliau yang sedang duduk menunggu hidangan datang. Saya salami beliau dan saya cium tangannya sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Apa yang saya alami bukanlah sebuah kisah dramatik yang sengaja saya tulis yang bertujuan ingin mengundang simpatik orang.

Saya hanya menulis sebuah fakta sepenggal perjalanan hidup seorang Ansar Ahmad yang saya kenal. Seorang pemimpin yang sudah menghibahkan hidupnya untuk orang lain dan masyarakat yang dipimpinnya.

Saya hanya ingin jadi saksi bahwa kebaikannya bukan sebuah kebaikan yang dibuat-buat. Bukan sebuah kebaikan yang punya motivasi karena pencitraan, bukan karena ingin sesuatu dari kita.

Saya hanya ingin mengingat sebuah pesan yang pernah saya terima dari seorang teman, bahwa kebaikan pasti akan bercerita sendiri tanpa harus kita minta.

“Orang Kampung Tinggal di Lancang Kuning”