Ansar Ahmad dan Pelukan Kuat Akar Rumput

Oleh: Suyono Saeran

Ketika Pasangan Calon (Paslon) lain memburu dukungan para pembesar dan elit politik, Ansar Ahmad lebih memilih pelukan hangat para penyapu jalan, imam-imam masjid, ibu-ibu majelis taklim, tukang gorengan dan kaum alit (masyarakat kecil) lainnya.

Pelukan kaum alit dan para elit itu memang beda. Pelukan para elit menaburkan aroma harum dan semerbak kasturi. Sementara pelukan kaum alit kebanyakan menebarkan bau keringat dan aroma yang tidak sesedap bau para pembesar dan elit politik.

Tapi pelukan kaum alit merupakan pelukan kejujuran. Pelukan yang datang dari hati. Pelukan yang diberikan dilandasi dengan rasa keikhlasan tanpa embel-embel kepentingan dan motivasi politik tertentu.

Baca Juga :   Jembatan Batam-Bintan : Megaproyek Legasi Jokowi Dihadapan Singapura 

Pelukannya penuh doa. Pelukannya penuh cinta. Ketika memberikan pelukan, masyarakat alit itu sebenarnya ingin bersatu dalam jiwa perjuangan. Ingin memberikan jiwa dan raganya untuk menemani setiap nafas langkah kaki.

Kehadiran kaum alit dalam nafas perjuangan sejatinya realitas keinginan yang menguat dari sebuah harapan tentang kebersamaan yang utuh dalam dunia politik.

Mereka ingin sekat-sekat polarisasi yang terlanjur terbentuk, akibat ulah dari para elit, perlahan memudar dan membentuk satu persepsi positif publik dalam satu irama yang mewarnai bentara ruang politik kita.

Mereka ingin menghadirkan loyalitas yang utuh. Loyalitas yang tak terpengaruh oleh  sentuhan psikis dari para elite. Loyalitas yang mempunyai nilai universal. Karena masyarakat alit memandang baik buruk dengan jelas. Memandang hitam putih dengan kalbu dan bukan karena kepentingan serta nafsu.

Baca Juga :   Begini Reaksi Moeldoko usai UAS Sebut Dana Haji Dipakai Investasi

Lantas kenapa Ansar Ahmad lebih memilih mereka yang di bawah dan mereka yang selalu akrab dengan keluhan dan air mata? Karena ada sebuah kejujuran dan sportivitas. Dua kata ini selalu ada dalam benak dan sanubari manusia. Mereka tidak pandai bersandiwara. Apa lagi berpura-pura. Mereka selalu datang nampak muka dan pergi nampak punggung.

Para kaum alit selalu mengejawantahkan kejujuran dan sportivitas dalam perilaku serta tindakan yang nyata. Berbeda jauh dengan kaum elit yang lebih banyak sandiwara dan kebohongan. Kaum elit terkadang terlalu banyak memproduksi argumentasi manis tetapi sejatinya kosong tanpa makna.

Jujur, negeri ini telah lama kehilangan nilai-nilai kejujuran dan sportivitas karena ulah sebagian dari para elit yang menggadaikan moralitas dengan harga yang murah. Kejujuran hanya jadi bahan pajangan yang rapuh, hanya sebuah lips service, mudah terucap, tapi tak tercermin dalam perilaku dan tindakan.