Indonesia dan Amerika Serikat: Pelangaran HAM Ancaman terhadap demokrasi

 

Oleh: Diah Anggraini

Penyalahgunaan kekuasaan baik yang dilakukan oleh sesama individu ataupun yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa terhadap rakyatnya selalu memunculkan persoalan HAM. Begitu pula yang terjadi di Negara,  seperti Indonesia dan Amerika Serikat.

Hilangnya nyawa warga Negara yang dilakukan oleh pihak yang berwenang merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat ditoleransi. Tragedi KM 50 yang terjadi di Jalan Tol Jakarta- Cikampek pada 7 Desember 2020, dengan korban 6 orang anggota FPI yang kehilangan nyawa.

Dari laporan yang dihimpun, ke 6 korban tersebut mengalami penganiayaan dan luka tembak pada tubuhnya. Kekerasan yang

dialami oleh 6 orang korban ini dilakukan oleh 4 orang anggota Polri. Penyebab, alasan dan kronologis dari tragedi ini masih dalam  penyelidikan yang berwenang. Tragedi ini menambah daftar kasus pelangaran HAM di Indonesia. Hilangnya nyawa 6 orang warga Indonesia ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan telah terjadi, mirisnya pelakunya adalah oknum yang seharusnya melindungi jiwa dan raga warga Negara.

Hilangnya nyawa seseorang merupakan pelangaran HAM yang tidak dapat ditolerir.

UUD 1945 telah menjamin perlindungan terhadap keberlangsungan hidup warga Negara yang tertuang dalam Pasal 28A.  “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. ” dan Pasal 28I ayat 1 “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Baca Juga :   Direktur Mitra Bungo Abadi Resmi Ditahan KPK

Isu HAM erat kaitanya dengan keberlangsungan nilai-nilai demokrasi.

Indonesia yang mengaku sebagai Negara hukum dan menerapkan sistem demokrasi, adanya polemik ini menujukan kemunduran demokrasi di Indonesia. Pemahaman demokrasi tidak hanya sebatas pemilihan umum secara berkala, adanya partai politik, dan sistem keterwakilan, demokrasi secara luas juga mencakup persoalan persamaan kesempatan terhadap seluruh warga Negara, pemberdayaan masyarakat, distribusi kesejahteraan, hubungan sipil-militer yang stabil. Adanya tragedi ini, menujukan bahwa belum dipahami pengertian demokrasi secara luas.

Ketika nilai-nilai HAM dijunjung tinggi, maka akan terbentuk konsolidasi demokrasi.

Dalam membentuk konsolidasi demokrasi, diperlukan penegakan hukum yang kuat dibawah konstitusi yang berlaku. Konstitusi hadir untuk menrciptakan keteraturan dan keamanan yangakan menjamin stabilitas dalam kehidupan bernegara.

Pelangaran HAM menujukan melemahnya demokrasi.

Tragedi ini menujukan adanya ketidakstabilan hubungan antara sipil dan militer. Polri sebagai alat Negara sudah menujukan bentuk manifest power yakni kekuasaan yang ditunjukan secara jelas. Adanya pengunaan senjata api yang digunakan untuk menghilangkan nyawa warga negara membuat posisi Polri sebagai militer lebih kuat dibandingkan sipil.

Baca Juga :   Pita Peresmian Wahana Permainan Haratio Nica Duri Digunting Oleh Gubernur Riau.

Polri sebagai alat Negara yang berwenang menjamin tegaknya hukum dan melindungi warga Negara. Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pihak polri merupakan ancaman bagi keberlangsungan demokrasi di negara ini. Dikatakan demikian sebab, polisi sebagai pihak yang berwenang berhak atas kepemilikan senjata api sekaligus pihak yang menegakan hukum dan keadilan di negara. Dengan wewenang yang dimiliki Polri sangat mudah untuk melakukan kekerasan, intimidasi dan manipulasi terhadap pemerintahan.

Dengan tegaknya HAM berkorelasi positif terhadap negara hukum, seperti Indonesia.

Negara yang menjunjung tinggi akan mengalami stabilitas, dan berdampak positif terhadap keberlangsungan demokrasi. Presiden memiliki peranan sentral dalam penaganan kasus pelangaran HAM. Presiden sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dan kewenangan seharusnya dengan tegas menjamin HAM seluruh warga Negaranya. Tindakan yang diambil pemerintah dalam menghadapi kasus FPI tidak mencerminkan negara hukum. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Mentri seluruh kegiatan Ormas FPI dilarang. Ormas FPI dikenal sebagai ormas yang vokal dalam menyuarakan pendapatnya. Rizieq Shihab yang dikenal sebagai pimpinan FPI, memang kerap mengkritik keras pemerintahan yang berkuasa. Dalam keberlangsungan demokrasi bentuk kritik, kebebasan berpendapat dan berekspresi sangat dibutuhkan. Pemerintah yang berkuasa menilai vokalnya FPI sebagai ancaman, sehingga melakukan exercise of power dalam bentuk membubarkan ormas FPI tanpa melalui peradilan.

Baca Juga :   FORMASI RIAU : KPK Harus Bertanggung Jawab

Tragedi KM 50 yang memakan korban belum menemui titik terang, ditambah dengan pembubaran Ormas FPI secara sepihak oleh Pemerintah. Tidak hanya ancaman bagi pelangaran HAM, kebebasan berserikatpun terancam diambil oleh pemerintah. Melihat kondisi ini pemerintah sekiranya anti terhadap kritik. Hubungan militer dan sipilpun tidak lagi stabil. Demokrasi di Indonesia sudah darurat, pemerintah otoriter mengancam keberadaan demokrasi di Indonesia. Tindakan kekerasan yang berujung pelangaran HAM juga terjadi di negara yang telah melaksanakan demokrasi cukup lama seperti Amerika Serikat. Slogan “Black Live Matter” menjadi topik yang diperbincangkan diseluruh dunia. George Flyod, seorang warga negara Amerika Serikat telah kehilangan nyawa, dan pelakunya adalah Darek Chauvin seorang polisi Amerika Serikat.

Chauvin melakukan penangkapan terhadap Flyod, kekerasan terjadi dan berakibat pada hilangnya nyawa Flyod. Seluruh dunia menyoroti kasus ini sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang, polisi. Kepolisian Amerika dikritik keras karena menyalahgunakan kekuasaan sehingga menimbulkan kematian. Kasus pelangaran HAM yang terjadi baik di Indonesia maupun di Amerika menjadi refeklsi kita terhadap definisi kekuasaan dan kewenangan di dalam demokrasi. Implikasi kekuasaan dan kewenangan harus mempertimbangkan HAM yang sudah melekat pada setiap manusia. Berwenang dan berkuasa memiliki konsekuensi yang nyata, with great power, comes great responsibility.