SP3 Kasus BLBI, Apakah Kemunduran KPK.???

Jakarta,(cMczone.com) – Surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap tersangka kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim, Viral dimedia Sosial dan menuai Komentar dan sorotan dari berbagai Pihak dan Pakar Hukum.

Akankah Penanganan Korupsi Di Indonesia Mengalami Kemunduran.?

Merilis dari Republika.id 06 Apr 2021, Pakar hukum pidana, Suparji Ahmad menilai, surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap tersangka kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim menjadi preseden buruk penegakan hukum di Indonesia. Meski memiliki dasar hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai melangkah mundur.

“Ini jelas menjadi preseden buruk dan catatan hitam dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Suparji, Ahad (4/4/21).

Suparji berharap SP3 terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim digugat ke pengadilan. Suparji mengaku akan mendukung jika ada pegiat anti korupsi mengajukan gugatan tersebut.

“Karena penegakan tindak pidana korupsi harus baik dan benar secara prosedur,” kata akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia ini.

Baca Juga :   Tim Kejati Riau Kembali Periksa Saksi Dugaan Korupsi Bansos Siak

 “Karena penegakan tindak pidana korupsi harus baik dan benar secara prosedur”

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada Kamis (1/4/21) mengatakan, penghentian penyidikan tersebut berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. KPK beralasan tidak bisa memenuhi syarat adanya tindak pidana korupsi terkait penyelenggara negara dalam perkara tersebut.

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menilai wajar publik mempermasalahkan keputusan lembaga yang dipimpin Firli Bahuri itu. Dalam UU KPK, lembaga antirasuah itu memiliki kewenangan mengeluarkan SP3. Namun ia menilai tidak tepat KPK memilih menghentikan kasus BLBI yang merugikan negara Rp 4,58 triliun. Sebab, kedua tersangka belum juga diperiksa.

“Statusnya in absentianah orang-orang katakanlah tidak kooperatif dalam menghadapi proses-proses penegakan hukum, kok malah dijadikan contoh kasus SP3 yang pertama,” ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/4).

Ia juga menyoroti alasan SP3 berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung. Kasus tersebut, kata dia, bukan merupakan ranah pidana. Putusan MA tidak serta-merta harus diikuti KPK karena sistem peradilan di Indonesia tidak menganut yuresprudensi tetap.

Baca Juga :   DPD SPI Kabupaten Kuansing Resmi Terbentuk

Anggota Komisi III Fraksi Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan, SP3 kasus BLBI akan menjadi momentum melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja KPK. Menurutnya, hingga saat ini banyak hal yang menjadi bahan evaluasi berkaitan dengan kinerja lembaga tersebut.

 “Statusnya in absentia, nah orang-orang katakanlah tidak kooperatif dalam menghadapi proses-proses penegakan hukum, kok malah dijadikan contoh kasus SP3 yang pertama”

 Komisi III, kata Hinca, berencana segera memanggil KPK agar agenda pemberantasan korupsi tak tergadaikan oleh kepentingan orang tertentu yang justru merugikan keuangan negara. Ia ingin Komisi III segera memanggil pimpinan dan Dewas KPK.

“Lalu lintas argumentasi dan opini dari publik sudah semakin menggelembung dan jumlahnya sangat banyak, oleh kebijakan yang diambil KPK dalam mengeluarkan SP3 tersebut,” ujar Hinca.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Ahmad Fathul Bari menilai, langkah KPK itu tidak adil. Keputusan itu, menurutnya, memperlihatkan tidak ada upaya serius KPK membongkar skandal BLBI. “Hal ini menjadi catatan kesekian kalinya dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama sejak revisi UU KPK hingga yang terakhir dengan turunnya indeks persepsi korupsi,” ujarnya, Ahad (4/4).

Baca Juga :   Miris...Provinsi Riau Mendekati Urutan Terakhir Survey Integritas KPK

Revisi UU KPK menjadi polemik sepanjang 2019 karena dinilai melemahkan KPK. Sebelum SP3 ini, KPK diawal kepemimpinan Firli Bahuri juga telah menghentikan 36 perkara di tingkat penyelidikan pada Februari 2020. KPK mengeklaim, penghentian itu sesuai prinsip kepastian hukum sebagaimana diatur UU KPK hasil revisi, tepatnya Pasal 5.

Meski demikian, revisi UU KPK disetujui oleh hampir semua fraksi di DPR, termasuk Arsul Sani. Arsul menilai persepsi pelemahan KPK muncul karena selama ini tidak ada yang secara khusus mengawasi lembaga tersebut.

“Nah, dalam RUU KPK akan dikasih Dewan Pengawas, maka KPK jadi tidak bebas lagi tanpa pengawasan,” kata dia pada 7 September 2020 silam.(***)