Ini Penjelasan Anak Buah Sri Mulyani Soal Pajak Sembako Yang Sampai 12 Persen

Ini Penjelasan Anak Buah Sri Mulyani Soal Pajak Sembako

cMczone.com–Yustinus Prastowo Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis mengatakan pemerintah tak akan ‘membabi buta’ dalam menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan memperluas objek pajak. Salah satunya ke barang kebutuhan pokok atau sembako.

“Sembako kok dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, tidak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta,” ungkap Yustinus dalam cuitannya lewat akun Twitter @prastow, Rabu (9/6).

PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pihak yang membayar PPN adalah konsumen akhir.

Ia mengatakan pemerintah tak akan berbuat konyol dalam menetapkan kebijakan. Pasalnya, pemerintah saat ini sedang mati-matian memperjuangkan pemulihan ekonomi pasca dihantam pandemi covid-19.

“Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian dibunuh sendiri. Mustahil,” tegas Yustinus.

Terkait dengan reaksi berbagai lapisan masyarakat terhadap rencana kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 12 persen, Yustinus mengaku bisa memakluminya. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah harus mengoptimalkan penerimaan pajak.

“Pemerintah mengajak pemangku kepentingan untuk bersama-sama memikirkan, jika saat pandemi bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun, bagaimana dengan pasca pandemi? Tentu saja kembali ke optimalisasi penerimaan pajak,” ucap Yustinus.

Menurutnya, optimalisasi pajak juga sudah dilakukan di beberapa negara lain meski pandemi covid-19 masih merebak. Amerika Serikat (AS) salah satunya.

Presiden AS Joe Biden, kata Yustinus, berencana menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 21 persen menjadi 28 persen. Lalu, Inggris akan mengerek tarif PPh badan dari 19 persen menjadi 23 persen.

“Banyak negara berpikir ini saat yang tepat untuk memikirkan optimalisasi pajak untuk keberlanjutan,” terang Yustinus.

Dari sisi PPN, Yustinus mencatat ada 15 negara yang mengubah aturan pungutan demi membiayai penanganan pandemi. Rata-rata tarif PPN di 127 negara adalah 15,4 persen.

Yustinus mencontohkan 24 negara menerapkan tarif PPN di atas 20 persen, 104 negara 11 persen-20 persen. Lalu, selebihnya beragam 10 persen ke bawah.

Sementara, terdapat beberapa negara yang menerapkan kebijakan multitarif PPN. Artinya, tarif yang diberikan tak tunggal atau tak pasti.

Rinciannya, Austria sebesar 13 persen-20 persen, Italia 10 persen-22 persen, Latvia 5 persen-21 persen, Prancis 10 persen-20 persen, dan Kolombia 5 persen-19 persen.

Sebagai informasi, Indonesia akan mengenakan PPN terhadap barang kebutuhan pokok. Kebijakan itu akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Dalam draf aturan itu, barang kebutuhan pokok dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Artinya, barang pokok akan dikenakan PPN.

Barang pokok yang tidak dikenakan PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017. Barang pokok yang dimaksud, seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, ubi-ubian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.(red/cnnindonesia)

Baca Juga :   Cegah Penyebaran Pandemi Covid-19, KAPOLRES Kupang Bagi Masker Dan Sembako