Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali

Article,(cMczone.com) – Nullum Delictum, Nulla poena sine praevia lege poenali” (“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”) sebuah adagium hukum yang berasal dari bahasa belanda dan memiliki arti, “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu”. Kalangan akademisi dan praktisi hukum tentu sangat familiar dengan adagium tersebut karena memang merupakan pengetahuan elementer yang wajib diketahui dalam pelajaran ilmu hukum.

Beberapa ahli hukum seringkali menisbatkan Adagium tersebut dengan ungkapan Ansem von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman, dalam bukunya yang berjudul “Lehrbuch des peinlichen rechts” pada tahun 1801 M. Dalam buku tersebut, Von Feuerbach menyadari secara betul bahwa penjatuhan hukuman yang hanya didasarkan pada selera dan kehendak penguasa adalah pintu masuk kesewenang-wenangan.

Karnanya, penting untuk mencantumkan suatu perbuatan pidana dalam peraturan tertulis terlebih dahulu agar masyarakat bisa mengetahui batas-batas perbuatan yang dilarang. Seseorang tidak boleh dipidanakan atas perbuatannya kecuali dengan adanya peraturan tertulis yang mengatur tentang pelarangan terhadap perbuatan tersebut.

Baca Juga :   Ansar Ahmad: Guru Ujung Tombak Lahirkan SDM Unggul dan Berkualitas

Undang-undang itu harus memberikan suatu ancaman hukuman berupa suatu penderitaan kepada setiap orang yang melakukan suatu pelanggaran hukum. Dalam hal  ini, Von Feuebach mengemukakan tiga ketentuan yakni:

  • Nulla Poena Sine Lege,yang artinya bahwa setiap penjatuhan hukuman haruslah didasarkan pada suatu undang-undang pidana;
  • Nulla Poena Sine Crimine,yang artinya bahwa suatu penjatuhan hukuman hanyalah dapat dilakukan, apabila perbuatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang
  • Nullum Crimen Sine Poena Legali,yang artinya bahwa perbuatan yang telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu apabila dilanggar dapat berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang diancamkan oleh undang undang terhadap pelanggarannya;

Para pembentuk undang-undang begitu menyadari akan prinsipilnya pengakuan terhadap asas legalitas ini. Oleh karena itu, asas tersebut diletakkan pada Pasal 1 ayat 1 KUHP, yang berbunyi; “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.

Peletakan pada pasal pertama memiliki arti bahwa asas legalitas tersebut menjiwai keseluruhan ketentuan-ketentuan pidana, baik yang tertuang dalam KUHP atau peraturan perundang-undangan yang lain, yang berlaku di Indonesia. Asas legalitas tersebut mengandung tiga pengertian, yaitu :

  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, jika perbuatan yang dimaksud belum dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dalam suatu aturan undang-undang. Dengan kata lain, untuk dapat mempidanakan seseorang ketentuan tentang perbuatan pidana tersebut terlebih dulu tertuang dalam aturan perundang-undangan tertulis.
  2. Tidak diperbolehkannya penggunaan penafsiran analogi (kiyas) dalam hukum pidana. Perbuatan pidana haruslah nyata. Ada perbedaan pandangan dari para ahli hukum pidana mengenai pengertian analogi dan penafsiran, sebagian dari mereka mengatakan antara analogi dan penafsiran adalah sama, sementara sebagian para ahli hukum yang lain menyatakan bahwa suatu perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi boleh diadakan penafsiran secara ekstensif terhadap suatu perbuatan, apakah ia tergolong perbuatan pidana atau tidak.
  3. Tidak diperbolehkannya ketentuan yang berlaku secara retroaktif atau berlaku surut ke belakang. Bahwa suatu perbuatan dikatakan perbuatan pidana dikarenakan adanya aturan-aturan yang mengatur tentang hal tersebut.
Baca Juga :   KKN-T UBB Sosialisasi Penggunaan Medsos di Masyarakat...

Pengaturan suatu perbuatan sebagai delik pidana dalam undang-undang dimaksudkan agar tercapai kepastian hukum bagi masyarakat. Seseorang tidak bisa sekonyong-konyongnya atas kehendak dan selera penguasa semata. Oleh karena itu, masyarakat terlebih dahulu harus diberikan acuan oleh undang-undang untuk dapat membedakan antara mana perbuatan yang diperbolehkan dan mana perbuatan dilarang.

Dalam tataran tertentu, hal demikian memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasa. Namun demikian, bukan berarti bahwa penerapan asas legalitas tidak memiliki kelemahan.Karena dalam prakteknya, hukum tertulis akan selalu ketinggalan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

Berkaitan dengan hal itu, E Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam perkembangannya dikenalkan pula dua konsep dalam penjatuhan hukum pidana, yaitu konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).

Baca Juga :   Wisuda Sarjana Angkatan IV UIS, Ansar Ahmad : Ciptakan Peluang Usaha, Jangan Terpatok Cari Kerja

Dengan demikian, maka nyatalah dalam hukum bahwa asas legalitas bukanlah merupakan satu-satunya adagium yang harus dijunjung tinggi dalam penegakan hukum. Oleh karenanya tidak tepat jika seorang hakim hanya bertindak sebagai corong undang-undang (bouche de la loi), sebab ada yang lebih utama daripada kepastian hukum, yaitu keadilan yang menjadi Roh daripada hukum itu sendiri.(***)