Tantangan Bawaslu dalam menyambut Pemilu 2024

Oleh : Ilham Mandala Anugrah

Lembaga Independen Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) genap berusia 13 tahun pada 9 April lalu. Dibentuknya Bawaslu menjadi langkah maju dalam proses penguatan demokrasi di Indonesia terutama dalam hajatan Pemilihan Umum (Pemilu). 

Persoalan demokrasi yang kerap terjadi adalah penyelewengan kekuasaan (kewenangan) dalam proses politik termasuk saat Pemilu dilakukan. Karena itu, hadirnya pengawas Pemilu dapat mengantisipasi tindakan-tindakan yang bisa merusak demokrasi. Sebagaimana slogannya, Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu.

Sejarah pengawas Pemilu sebenarnya sudah ada jauh sebelum Bawaslu dibentuk. Pada Pemilu 1982 pernah dibentuk Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu) yang menjadi bagian dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang bernaung di Kementerian Dalam Negeri. Kondisi pengawas pemilu saat itu jelas kurang ideal untuk disebut produktif menegakkan demokrasi dalam pemilihan mengingat kedudukannya yang masih dikontrol oleh pemerintah.

Memasuki era reformasi sebagai dampak dari tuntutan keberlangsungan Pemilu yang lebih jujur dan adil yang terlepas dari bayang-bayang penguasa, lahirlah penyelenggara Pemilu yang bersifat independen yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sementara pengawas Pemilu mengalami perubahan menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Titik tolak kelembagaan pengawas Pemilu yang terpisah dari penyelenggara teknis Pemilu (KPU) terjadi setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD.

Amanat dari UU 12 Tahun 2003 adalah membentuk lembaga yang diberi kewenangan untuk mengawasi Pemilu bersifat ad-hoc (sementara) yang terlepas dari struktur KPU. Kelembagaan Panwaslu saat itu terdiri atas Panwaslu (Pusat), Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu Kecamatan.

Perubahan besar di kelembagaan pengawas Pemilu kembali terjadi dan semakin diperkuat dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengatur mengenai pembentukan Bawaslu di tingkat pusat, sedangkan di daerah mulai provinsi, kabupaten/kota hingga tingkat kelurahan kewenangan pembentukannya masih ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Baca Juga :   Kekuatan Hati Itu Datang seperti "Air Terjun Niagara"

Baru kemudian pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas judicial review yang dilakukan Bawaslu terhadap UU 22 Tahun 2007 memutuskan sepenuhnya kewenangan pengawas Pemilu ada di Bawaslu termasuk untuk merekrut pengawas Pemilu pada jajaran di bawahnya.

Perjalanan Bawaslu selama 13 tahun mengawal demokrasi Indonesia terus mendapatkan dukungan dan penguatan terhadap kewenangan dan postur kelembagaannya.

Saat ini pengawas Pemilu tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota adalah lembaga tetap yang diisi oleh orang-orang profesional tidak terikat dengan institusi pemerintah lainnya. Selain itu kesetaraan kedudukan Bawaslu tingkat kabupaten/kota dengan jajaran KPU yang juga telah lebih dulu menjadi lembaga tetap jelas sangat menguatkan peran Bawaslu. Sebagaimana tugas Bawaslu adalah salah satunya mengawasi jalannya proses pemilihan yang dijalankan KPU.

Kewenangan Bawaslu yang dimiliki saat ini dianggap terlalu besar terutama untuk menangani pelanggaran Pemilu. Bawaslu diberi kewenangan untuk memutus pelanggaran administrasi Pemilu dan pelanggaran politik uang setelah sebelumnya memeriksa dan mengkajinya. Artinya, fungsi peradilan melekat pada Bawaslu terkait urusan kepemiluan. Dan, hal tersebut dianggap kurang efektif sehingga diperlukan peradilan ad-hoc Pemilu untuk memutus perkara-perkara Pemilu.

Apa sih tugas Bawaslu pada 2024 mendatang? Desain kepemiluan yang saat ini digunakan dengan berdasar pada Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan memberi tambahan kerja ekstra bagi penyelenggara Pemilu terutama pengawas Pemilu.

Pada 2024 akan diselenggarakan Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres), dan Pilkada. Ketiga pemilihan tersebut akan berjalan secara maraton. Menerka Pileg dan Pilpres 2024 yang akan digelar pada Maret 2024 sebagaimana rencana desain yang diajukan KPU akan membuat perangkat pemilihan (KPU dan Bawaslu) sudah siap bekerja sekitar Juli 2022 atau sekitar 20 bulan sebelum pemungutan suara dilaksanakan untuk pileg dan pilpres.

Baca Juga :   SUGER BERGERAK, Gerakan Pemuda Untuk Berdampak di Tengah Pandemi

Kemudian persiapan pelaksanaan Pilkada yang pemungutan suaranya akan dilaksanakan pada November 2024 sebagaimana ketentuan dalam UU Nomor 10/2016 sudah dimulai setidaknya 11 bulan sebelum pemungutan suara atau setidaknya pada Desember 2023.

Masa kerja penyelenggara pemilihan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi juga akan habis pada 2023 yang berarti proses pengisian komisioner baik KPU maupun Bawaslu sudah dilakukan saat memasuki tahapan pileg dan pilpres.

Proses pemilu dengan memperhatikan waktu pelaksanaannya akan membuat tahapan akhir Pileg dan Pilpres belum selesai, namun sudah disusul dengan dimulainya tahapan Pilkada.

Bagi pengawas Pemilu bukanlah sebuah perkara mudah terlebih tantangan terberatnya ada pada pengawas tingkat kecamatan maupun tingkat kelurahan/desa.

Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam) dan Panitia Pengawas Pemilu Kelurahan/Desa (Panwaslu Kelurahan/Desa) akan dihadapkan pada beberapa persoalan. Pertama, area kerja yang luas secara geografis. Kedua, jumlah penduduk yang terlampau banyak. Ketiga, iklim politik yang panas di wilayah tertentu berpotensi terjadi konflik.

Perlu dilakukan peninjauan untuk menambah personel pengawas Pemilu di dua tingkatan tersebut agar tugas pengawasan dapat lebih optimal. Misalnya, untuk desa dengan jumlah pemilih di atas 3.000 pemilih perlu diberikan dua Panwaslu Desa, begitu seterusnya untuk kelipatan 1.500-2.000 pemilih. Sebab, tujuan pengawasan yang dilakukan objeknya adalah mengawasi gerak masyarakat dalam hajat politik pemilihan sehingga dengan hanya satu pengawas di tingkat desa yang memiliki jumlah penduduk banyak kurang efektif.

Baca Juga :   Ansar Ahmad Harapan Baru Kepulauan Riau

Kemudian untuk kecamatan yang memiliki jumlah desa di atas 15 desa dapat diisi dengan lima orang komisioner. Karena praktis pengawasan di tingkat desa dengan satu orang dan kecamatan tiga orang bukanlah porsi yang ideal bagi wilayah yang luas serta penduduk yang padat.

Kembali lagi bahwa pengawasan yang dilakukan adalah mengawasi masyarakat (pemilih) dengan proses panjang sejak tahap awal pemilihan hingga selesainya pemilihan, bukan hanya pada saat hari pemungutan suara yang pembagian pengawasannya pada Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Bagaimana Peran Sentral Bawaslu?

Bersama tiga lembaga lainnya, KPU dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bawaslu bertanggungjawab terhadap jalannya demokratisasi dalam pemilihan. Objek pengawasan Bawaslu adalah mengawasi kerja penyelenggara teknis (KPU) dan peserta pemilihan. Selain itu, Bawaslu juga harus mengawasi masyarakat yang menurut UU dilarang memihak pada salah satu calon dalam pemilihan seperti Aparatur Sipil Negara (ASN).

Sepak terjang Bawaslu lainnya adalah memberikan rekomendasi seperti saran perbaikan kepada KPU hingga diskualifikasi calon seperti yang terjadi di beberapa daerah pada Pilkada 2020, yakni Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Banggai, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Kaur, dan Kabupaten Ogan Ilir. Rekomendasi Bawaslu dapat berupa temuan maupun laporan masyarakat. Kehadiran Bawaslu memudahkan masyarakat untuk mengadu terkait pelanggaran pemilu.

Ke depan, Bawaslu harus tetap menjadi lembaga yang dapat diharapkan dalam menjaga kualitas demokrasi di tengah perang informasi yang dapat menuju pada situasi distrust terhadap banyak pihak termasuk dalam momentum pemilu.

‘Penulis adalah Peserta Advance Training LK III Badko Riau-Kepri’