Pemikiran dan Perjalanan Muhammad Natsir Untuk Negara Indonesia

Cmczone.com- Mohammad Natsir merupakan Tokoh Nasional asal Sumatera Barat, tepatnya Nagari Alahan Panjang Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok.

Beliau Lahir pada tanggal 17 Juli 1908 dan Meninggal di Jakarta pada 06 Februari 1993 (84 tahun ).

Muhammad Natsir Merupakan Seorang Pemikir Islam, Politikus, Pengajar, Penggiat Sastera, Aktifis dan salah seorang Pahlawan Nasioanal Asal Sumatera Barat yang berpengaruh pada Pergerakan sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan Indonesia.

Ayah Muhammad Natsir bernama Muhammad Idris Sutan Saripado, Ibunya bernama Khadijah.

Ayahnya bekerja sebagai Juru tulis di kantor Kontroller di Maninjau, disanalah Muhammad Natsir bersekolah selama 2 tahun (1918-1920), yaitu Sekolah Rakyat (SR) Maninjau, sampai kelas dua.

Selanjutnya M.Natsir pindah sekolah ke Hollandsch Inlandsche Scool (HIS) Adabiyah di Padang (1920).

Pada tahun 1923, beliau melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreit Lager Onderwijs (MULO).

Setelah Tamat MULO, Muhammad Natsir melanjutkan Pendidikan di Algemeene Middelbare School (AMS) Bandung, Tamat Tahun 1930.

Selama bersekolah di AMS beliau mulai bersentuhan dengan Pergerakan Mahasiswa/Pelajar, sehingga terpilih menjadi Ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung Pada Tahun 1928 – 1932.

Baca Juga :   Pemko Payakumbuh Bantu Biaya Orang tua Nabil Asyura Untuk Nonton Final AFF U-16

Muhammad Natsir Menikah dengan Nurnahar di Bandung pada tanggal 20 Oktober 1934 dan dikarunia 6 orang anak.

Muhammad Natsir menguasai 6 bahasa asing, diantaranya : Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Arab dan Esperanto (Eropa timur).

Pada pertengahan 1930-an Muhammad Natsir banyak bergaul dengan Pemikir pemikir Islam, salah satunya H.Agus Salim, yakni tentang hubungan Islam dan Negara dalam Pemerintahan Republik Indonesia, jika Kelak Merdeka.

Pada tahun 1938 Muhammad Natsir bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan Pada tahun 1940-42 dipercaya menjadi Pimpinan Cabang Bandung.

Pada masa Pendudukan Jepang (1942-1945), ia bergabung dengan Majelis A’la Indonesia lalu berubah nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) hingga menjadi salah satu Ketua pada Tahun 1945, hingga dibubarkan Soekarno pada tahun 1960.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, beliau ditunjuk menjadi Menteri Penerangan.

Pada tanggal 03 April 1950, beliau mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang Pleno parlemen.

Mosi Integral Natsir yang begitu monumental ini, merubah Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Baca Juga :   Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura Dan Perkebunan Kabupaten Limapuluh Kota Kibarkan Bendera Robek dan Kusam

Mosi Integral ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang sebelumnya berbentuk Serikat sejak KMB (Konferensi Meja Bundar) di Denhaag Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.

Oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta Beliau diangkat Menjadi Perdana Menteri Ke V Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, dengan demikian Muhammad Natsir yang memimpin Kabinet, yang diberi nama Kabinet Natsir. Namun mengundurkan diri pada tanggal 26 April 1951.

Pengunduran diri sang Perdana Menteri karena perbedaan pandangan dengan Presiden Sukarno, Sukarno yang menganut paham Nasionalisme, mengkritik Islam sebagai Ideologi, tapi lebih mengedepankan sekularisme.

Menurut Hatta, Selama Kabinet Natsir, Sukarno selaku Presiden dan Ketua Partai Nasionalis Indonesia (PNI), terus mendesak Manai Sophiaan serta para menteri dalam Kabinet Natsir dan Anggota Parlemen dari PNI untuk menjatuhkan Kabinet Natsir, dan tidak mendukung kebijakan kebijakan yang diusulkan oleh Muhammad Natsir dan Hatta.

Baca Juga :   Anak Petani Asal Payakumbuh Itu Pimpin Pasukan Kowad Saat Upacara Penurunan Bendera HUT RI Ke 77 Di Istana Negara

Selama Era Demokrasi terpimpin (05 Juli 1959 – 11 Maret 1966), Muhammad Natsir meninggalkan Pulau Jawa dan bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang menuntut Otonomi yang lebih luas, tapi disalah artikan oleh Sukarno sebagai pemberontakan.

Akibatnya ia ditangkap dan dipenjarakan di Malang pada tahun 1962, dan dibebaskan pada era Orde baru tanggal 26 Juli 1966.

Pada era orde baru, ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, ia juga ikut mengkritisi kebijakan Pemerintahan Orde Baru dengan ikut menanda tangani Petisi 50 pada 05 Mei 1980, bersama Jenderal (Pol) Hoegeng, Letjen Ali Sadikin, Sanusi Hardjadinata, SK Trimurti,dll. Sehingga beliau kena cekal dan tidak boleh bepergian keluar negeri.

Pada tahun 1991, beliau mendapat 2 gelar kehormatan, yaitu bidang sastera dari University Kebangsaan Malaysia, dan bidang Pemikiran Islam dari University Sains Malaysia.

Setelah 15 tahun kematiannya, Pemerintahan SBY menganugerahkan Pahlawan Nasional Indonesia kepada Muhammad Natsir, yaitu pada tanggal 10 November 2008.

Penulis: Donika Putra Mahasiswa Prodi Hukum UM Natsir BukittingiĀ