Labuh Jangkar dan Ironi Kepulauan Riau…

Dalam Pasal 27 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan kewenangan daerah provinsi untuk mengelola Sumber Daya Alam di laut meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi.

Kemudian, dalam ayat 3 lebih dipertegas, bahwa kewenangan pengelolaan sumber daya di laut hanya dibatasi paling jauh 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.

Semangat undang-undang ini sebenarnya sangat jelas, bagaimana daerah diberi kewenangan yang sangat luas dalam mengelola sumber daya laut untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Namun, implementasi sebuah regulasi terkadang banyak mengalami persoalan yang secara nalar sulit untuk bisa diterima.

Persoalan hak pengelolaan labuh jangkar, misalnya, di Provinsi Kepulauan Riau persoalan perjuangan hak pengelolaan labuh jangkar sudah diperjuangkan sejak Gubernur Kepri pertama Ismet Abdullah.

Dasarnya jelas: Perintah Pasal 27 Ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2014. Dalam ketentuan kebijakan Negara Konstitusional, perintah undang-undang adalah perintah tertinggi.

Menurut Miriam Budiharjo, dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008), konstitusi mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi yang mengikat dan harus ditaati oleh semua warga negara dan lembaga negara tanpa kecuali.

Namun realitas di lapangan tidak semanis dengan apa yang tertuang dalam undang-undang. Perjuangan hak pengelolaan labuh jangkar di Kepulauan Riau seolah menghadapi sebuah tembok besar yang sulit untuk ditembus. Pada hal berbagai upaya sudah dilakukan oleh Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad, dalam melakukan berbagai pendekatan ke Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan.

Bahkan untuk memperkuat argumentasi hukum, Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan pada Tahun 2021 juga mengeluarkan surat  penetapan, bahwa Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sebagai pihak yang berhak mengelola dan menarik retribusi jasa labuh jangkar kapal di perairan Kepulauan Riau yang berjarak 0-12 mil dari garis pantai. Surat dengan Nomor B-207?DN.00.001/12/2021 tersebut ditandatangani langsung oleh Menkopolhukam Mahfud MD.

Baca Juga :   Wadanlantamal IV Tinjau Pelaksanaan Serbuan Vaksin TNI di Pelabuhan SBP Tanjungpinang

Namun, Kementerian Perhubungan seolah tidak bergeming. Meski perintah UU Nomor 23 Tahun 2014 sudah jelas, yang kemudian juga dipertegas oleh surat dari Kementerian Koordinator Polhukam tersebut, hak pengelolaan labuh jangkar tidak juga diberikan kepada pemerintah Provinsi Kepulauan Riau.

Alasan secara substansi tidak disebutkan oleh Kementerian Perhubungan sehubungan ditolaknya tuntutan hak pengelolaan labuh jangkar oleh Provinsi Kepri.

Hanya beberapa rumor yang berkembang, kalau seandainya tuntutan hak pengelolaan labuh jangkar diberikan kepada Pemerintah Provinsi Kepri memunculkan gejolak baru di beberapa daerah untuk menuntut hal yang sama.

Kalau benar adanya tentang rumor tersebut, tentu ini sebuah argumentasi yang mengangkangi perintah undang-undang. Karena bagaimana pun juga semua daerah yang mempunyai wilayah laut punya hak yang sama dalam mengelola hak pengelolaan labuh jangkar, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 27 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2014.

Meski begitu, perjuangan Gubernur dan Masyarakat Kepulauan Riau tetap terus dilakukan. Tidak hanya melakukan loby dan pendekatan ke Kementerian Perhubungan, Ansar Ahmad juga meyakinkan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Polhukam Mahfud MD serta Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Bahkan, kelompok masyarakat yang tergabung dalam Gerak Keris juga melayangkan gugatan ke Kementerian Perhubungan sehubungan ditolaknya keinginan Pemerintah Provinsi Kepri yang ingin mengelola sendiri retribusi labuh jangkar di perairan Kepulauan Riau.

Namun, sejauh ini perjuangan hak pengelolaan labuh jangkar belum juga membuah hasil. Kementerian Perhubungan hanya menawarkan alternative sebagai bentuk kompensasi bagi Pemerintah Provinsi Kepri.

Kompensasi tersebut berupa digelontorkannya anggaran cukup besar bagi pembiayaan proyek strategis di Kepulauan Riau. Beberapa proyek tersebut di antaranya pembangunan penambahan landasan pacu (run way) Bandara Raja Haji Abdullah (RHA) Kabupaten Karimun dari 1.500 menjadi 2.200 meter.

Baca Juga :   Demam Korupsi Negara Kepulauan

Realisasi pengerjaan proyek tersebut masih menunggu ijin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengingat 14,29 hektar lahan yang akan dipergunakan untuk memperpanjang run way Bandara Raja Abdullah masuk dalam kawasan hutan lindung.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, pihaknya segera memproses status hutan lindung di sekitar kawasan Bandara RHA Karimun menjadi Daerah Penting Cakupan Luas bernilai Strategis (DPCLS) agar realisasi pembangunan penambangan run way bisa segera dilaksanakan.

Tidak hanya itu, dari penjelasan Gubernur Kepri Ansar Ahmad pada Tahun 2023, Kementerian Perhubungan juga akan menghibahkan Kapal Roro senilai Rp 98 milyar untuk melayani trayek dari Tanjung Uban-Tambelan di Kabupaten Bintan dan Sintete di Kalimantan Barat.

Tahun 2023,Kementrian Perhubungan juga memperbesar Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Kepulauan Riau sebesar Rp 38 milyar yang dipergunakan untuk pemeliharaan fasilitas pelabuhan di Penagi, Kabupaten Natuna, Pelabuhan Kuala Maras, Kabupaten Kepulauan Anambas dan Pelabuhan Selat Belia di Kabupaten Karimun.

Potensi Kemaritiman Kepri

Mengapa Pemerintah dan Masyarakat Provinsi Kepri begitu kuat menuntut hak pengelolaan labuh jangkar? Karena, di antara 50 jenis jasa yang harus secara teliti dibagi hak pungut-nya sesuai amanah UU Nomor 17 Tahun 2008, UU Nomor 28 Tahun 2009 dan UU 23 Tahun 2014, ada 2 jenis jasa yang bila berlangsung dalam 12 mil merupakan hak daerah dan jika di atas 12 mil merupakan hak pusat.

Potensi pendapatan dari hak pengelolaan labuh jangkar ini bisa mencapai Rp 200 milyar setahun, yang sangat berarti bagi pembiayaan pembangunan di Kepulauan Riau yang saat ini APBD-nya tidak sampai Rp 4 trilyun.

Selain retribusi labuh jangkar, laut Kepulauan Riau sebenarnya punya potensi penyumbang pendapatan yang cukup besar bagi daerah. Kita tahu, Laut Natuna selama ini merupakan penyumbang pasokan ikan terbesar di tanah air.

Baca Juga :   Adnan Al Jufrie | Berikan Edukasi Mengatasi Masalah Melalui FTA

Menurut catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada 2017 potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Nomor 711 (WPP-RI 711) di sekitar Laut Natuna dan Laut Natuna Utara sebesar 767.126 ton.

Potensi tersebut, terdiri dari ikan pelagis besar sebanyak 185.855 ton, ikan pelagis kecil 330.284 ton, ikan demersal 131.070 ton, ikan karang konsumsi 20.625 ton, udang penaeid 62.342 ton, dan lobster 1.421 ton.

Di Laut Natuna juga dikenal sebagai tempat berkembang biak ikan Napoleon yang di pasaran internasional harganya sangat fantastis.

Tidak hanya penghasil ikan terbesar di tanah air, Laut Natuna juga penghasil gas dan minyak bumi terbesar dan memberikan sumbangan devisa ke Negara yang tidak sedikit.

Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki cadangan gas bumi mencapai 144,06 triliun kaki kubik (TCF), terdiri dari cadangan terbukti (P1) sebesar 101,22 TSCF dan cadangan potensial (P2) 42,84 TSCF.

Cadangan gas terbesar di Indonesia berada di Natuna, tepatnya berada di Blok East Natuna 49,87 TCF. Selanjutnya, disusul Blok Masela di Maluku 16,73 TCF, dan Blok Indonesia Deepwater Development (IDD) di Selat Makassar 2,66 TCF. Besarnya kandungan gas alam di Natuna tersebut, disebut-sebut sebagai cadangan gas terbesar di Asia Pasifik.

Begitu banyak yang dihasilkan di wilayah perairan di Kepulauan Riau yang disumbangkan ke Negara. Namun sayangnya, hanya sedikit yang dikembalikan ke masyarakat Kepulauan Riau dalam bentuk APBD yang setiap tahun besarnya tidak sampai Rp 4 trilyun.

Tentu ini sebuah ironi bagi negeri yang bermottokan “Berpancang Amanah Bersauh Marwah”. Negeri yang dalam peta Indonesia hanya sebuah hamparan laut luas dengan noktah-noktah kecil di dalamnya.