Tahun 2020, Program Perlindungan Saksi dan Korban Tergantung Kecukupan Anggaran

Jakarta, (cMczone.com) – Merespon pernyataan Ketua DPR RI pasca pertemuan dengan Ketua LPSK beberapa hari lalu, terkait harapan agar LPSK tidak boleh bubar di tahun 2020 karena persoalan anggaran, bersama ini LPSK menjelaskan
latar belakang dari pernyataan tersebut.

LPSK di tahun 2020 diproyeksikan mendapat jatah anggaran sebesar Rp54 miliar dari usulan anggaran sebesar Rp156 miliar. Angka Rp54 M itu sangat mengkhawatirkan bagi LPSK. Kekhawatiran utama dari angka tersebut adalah terkait kemampuan LSPK menjalankan mandat perlindungan kepada saksi dan korban sebagaimana perintah undang-undang.

Alokasi tahun 2020 merupakan anggaran terendah yang diterima oleh LPSK sepanjang 5 tahun terakhir. Sejak 2015 hingga 2018, anggaran LPSK berada
di kisaran Rp150 M – Rp75 M. Turun di tahun 2019, menjadi 65 M dengan
rencana penambahan anggaran sebesar Rp10 M. Sementara penyerapan anggaran LPSK setiap tahunnya berada di posisi nyaris 100%. Situasi ini tidak terlepas dari anggaran LPSK yang masih tergantung pada Kementerian Sekretriat Negara sebagai satuan kerjanya yang membuat LPSK tidak mandiri dalam menentukan anggaran.

Baca Juga :   SMPN 1 Rumbio Jaya Kekurangan WC dan Komputer Untuk UNBK, Kepsek : Harap Pemkab Kampar Berikan Perhatian

Dapat kami sampaikan bahwa dalam menjalankan mandatnya LPSK tidak
hanya didasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi juga mendapatkan mandat dari setidaknya 10 (sepuluh) undang-undang dan 4 (empat) peraturan pemerintah lainnya yang terkait perlindungan saksi dan korban.

Untuk diketahui, sejak 2008 hingga Juli 2019 tercatat 11.354 permohonan
perlindungan masuk ke LPSK. Sementara jumlah terlindung LPSK di tahun 2019 tercatat 3.179 terlindung. Para terlindung ini di antaranya mendapatkan layanan berupa perlindungan fisik, penempatan rumah aman, pengawalan melekat, pendampingan pada proses hukum, penggantian biaya hidup, bantuan medis, psikologis, psiko-sosial serta fasilitasi restitusi dan kompensasi.

Dari Rp 54 M tersebut, Rp42 M diantaranya telah dikunci oleh Kementerian Keuangan untuk pembayaran gaji pegawai dan operasional kantor, sehingga tersisa Rp12 M. Angka tersebut dalam pengalaman LPSK hanya dapat membiayai program perlindungan saksi dan korban selama 3 bulan. Artinya,
dalam 8 bulan kemudian, LPSK terpaksa tutup mata atas kebutuhan saksi dan korban terhadap situasi yang mengancam jiwanya, pemberian bantuan medis, dan lainnya.

Baca Juga :   Pengurus MOI Provinsi Riau Resmi Dikukuhkan. Ketua DPW Riau : Anggota Yang Tergabung di MOI Jadi Contoh Terbaik Bagi Media Yang Ada di Indonesia.

Kemungkinannya, di tahun 2020, LPSK tidak lagi dapat memberikan perlindungan fisik kepada saksi tindak pidana korupsi yang terancam keselamatan jiwanya, tidak dapat memberikan bantuan medis sesaat setelah peristiwa kepada korban terorisme, tidak dapat memberikan rehabilitasi  medis dan psikologis kepada korban pelanggaran HAM berat, serta tidak bisa memberikan pemulihan kepada korban kekerasan seksual.

LPSK juga di tahun 2020 dikhawatirkan tidak dapat melaksanakan mandat
UU Pemberantasan Terorisme, untuk membayar kompensasi kepada korban
terorisme masa lalu, yang dibatasi pelaksanaannya 3 (tiga) tahun sejak UU
itu disahkan. Berdasarkan catatan sementara BNPT, ada 833 korban terorisme masa lalu yang berhak atas kompensasi.

LPSK memprediksi pembayaran kompensasi untuk korban terorisme masa lalu itu sebesar Rp51 M. Belum lagi kewajiban kompensasi kepada korban terorisme paska UU tersebut disahkan. Misalnya, dalam kasus terorisme
Sibolga, diprediksi jumlah kompensasi sebesar Rp4,4 M untuk 156 korban.

Baca Juga :   Kasat Binmas Polresta Deli Serdang Silaturahmi ke Tokoh Lintas Agama dan Pemberian Tali Asih

Selain itu, beban yang harus LPSK tanggung sejak terbitnya Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan (BPJS) yang tidak lagi memberikan layanan kepada korban tindak pidana dan menyerahkan kepada LPSK untuk
menanggung biaya medis korban tindak pidana. Setidaknya hingga Juli  2019, sudah ada 48 permohonan kepada LPSK terkait Perpres tersebut

Bila ditarik lebih jauh, ketidakmampuan LPSK dalam menjalankan  mandatnya dapat dikatakan bertentangan dengan perintah konstitusi terkait Indonesia negara berdasarkan hukum (Pasal 1 Ayat (3)) dan hak atas perlindungan bagi seluruh warga negara (Pasal 28G).

(Sumber : Rilis berita LPSK RI)