Pemeriksaan tersangka berlangsung sekitar 9 jam di Polda Metro Jaya; penyidik belum menahan karena ada saksi dan ahli meringankan yang diajukan.
Jakarta – cMczone.com | Kamis, 13 November 2025 — Direktur Reserse Kriminal Umum Ditreskrimum Polda Metro Jaya, kombes Pol Iman Imanuddin, mengungkap bahwa pemeriksaan terhadap tiga tersangka kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Wahid (Jokowi) — yakni Roy Suryo (pakar telematika), Rismon Sianipar (ahli digital forensik) dan Dokter Tifa (pegiat media sosial) — berlangsung selama sekitar 9 jam 20 menit dan melibatkan 377 pertanyaan.
Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, ketiganya tidak ditahan dan diperbolehkan kembali ke rumah masing-masing setelah pemeriksaan selesai.
Pemeriksaan berlangsung di gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya mulai pukul 10.30 WIB dan rampung sekitar 18.30 WIB. Kabid Humas Kombes Budi Hermanto menyampaikan bahwa Roy Suryo menjawab sekitar 134 pertanyaan, Rismon 157 dan Dokter Tifa 86 pertanyaan.
Penyidik menyebut bahwa ketiganya mengajukan saksi ahli yang meringankan, yang menjadi salah satu alasan mengapa penahanan tak dilakukan. “Pemeriksaan dilaksanakan sesuai KUHAP dan aturan Kapolri,” kata Iman Imanuddin.
Kasus ini diawali dari laporan ke Polda Metro Jaya pada April 2025 terkait tuduhan bahwa ijazah Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) milik Presiden Jokowi adalah palsu. Polda menetapkan delapan tersangka dalam dua klaster; klaster kedua adalah ketiganya.
Pemeriksaan ini menjadi sorotan publik karena menunjukkan bahwa institusi penegak hukum menghadapi tekanan tinggi dalam isu sensitif yang menyentuh eks-presiden dan elemen masyarakat. Masyarakat menunggu transparansi dan keadilan dalam proses ini.
Kasus ini bukan sekadar persoalan administratif atau kriminal biasa. Ia menyentuh ranah kepercayaan terhadap institusi negara, transparansi pendidikan tinggi dan pelaksanaan hukum terhadap figur publik. Penetapan tersangka dan proses pemeriksaan ketat menunjukkan bahwa aparat kepolisian mengambil langkah yang terukur. Namun keputusan untuk tidak menahan juga akan menjadi sorotan — apakah ini tanda perlakuan istimewa atau penerapan asas presumption of innocence (asas praduga tak bersalah) yang benar-benar dijalankan?
Jika proses ini dijalankan dengan benar, maka akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum; tetapi jika tidak, maka akan menjadi bahan kritik mengenai keadilan yang tampak tebang pilih.
Catatan Redaksi cMczone.com
Setiap kali penegakan hukum menyentuh figur publik besar, integritas institusi diuji. Keadilan tidak hanya soal kecepatan dan kekerasan penindakan, tapi soal kesetaraan dalam perlakuan dan transparansi proses. Presiden atau bukan, rakyat harus melihat bahwa hukum dijalankan tanpa syarat — dan itulah semangat yang harus dijaga.







