Ketika Ibu-Ibu Merindukan Senyum Mantan Kuli Bangunan

Oleh: Suyono Saeran

Pagi itu puluhan ibu-ibu sudah menunggu. Sebagian duduk rapi di lantai beralaskan karpet yang sudah disiapkan. Sebagian lagi berdiri membentuk barisan pagar betis untuk menyambut kedatangan seorang tamu yang diharapkan.

Wajah ibu-ibu itu ceria. Namun kegelisahan yang tersirat dari wajah para emak itu juga tidak bisa disembunyikan. Mereka begitu jelas terlihat sangat ingin segera bertemu, bersapa dan memberi salam pada tamu yang dirindukan.

Ditengah ketidaksabaran untuk menunggu, tiba-tiba datang sebuah mobil yang berhenti tepat dekat ibu-ibu yang sedang berdiri menanti itu. Pelan-pelan pintu mobil itu terbuka. Tak lama kemudian dari dalam mobil itu keluar lelaki tegap dengan wajah yang cerah. Senyumnya yang penuh kelembutan dia tebarkan ke semua mata yang memandangnya. Wajahnya yang dipenuhi cahaya dia hadirkan ke semua mereka penuh kesabaran menunggu kedatangannya.

Ibu-ibu itu seperti dikomando langsung menyerbunya memberi sambutan. Mereka berebut menyalaminya dengan penuh hormat dan kemudian mengiring lelaki rendah hati itu ke tempat acara yang sudah disiapkan.

Baca Juga :   Meski Basah Kuyup, Ansar Ahmad Terobos Hujan Demi Warga Pulau dan Pesisir

Di tempat acara itu lelaki yang pernah jadi guru ngaji ini memilih duduk di lantai meski meja dan sofa empuk sudah disiapkan oleh panitia untuknya. Dia sengaja duduk di lantai bersama para ibu-ibu itu seolah memberikan pesan yang mendalam agar tidak ada jarak antara pemimpin dan masyarakatnya. Agar tidak ada jeda antara yang diharapkan dengan yang mengharapkan.

Sambil duduk bersila laki-laki yang mantan pemungut bola tenis itu kemudian dengan suara lembut menyapa kepada semua yang hadir. Kepada semua mata yang melihatnya. Suaranya penuh wibawa. Dan setiap kata yang dia ucapkan penuh bahasa kesantunan. Mereka yang mendengar ketika laki-laki itu bicara, selalu diam sambil menyimak dalam-dalam.

Satu jam lelaki itu bicara. Tapi sepanjang waktu itu mereka yang hadir tidak ada yang beranjak dari tempat duduknya. Semua mendengarkan dengan penuh ketakjuban. Semua mencerna dengan hati setiap kata yang dikeluarkan yang berisi penuh dengan harapan. Lelaki mantan pencuci bus itu tidak pernah berbicara tentang hal yang melukai. Lelaki itu tidak pernah bicara tentang keburukan dan sakit hati.

Baca Juga :   Jangan Kecilkan Peran RT dan RW

Bahasanya selalu dia hadirkan tentang mimpi-mimpi yang harus dikejar. Tentang gunung harapan di depan yang harus direngkuh dengan niat baik dan cara-cara yang baik. Dia tidak pernah menyalahkan siapapun. Dia tidak pernah mencela siapapun. Karena baginya, setiap orang punya cerita perjalanan hidup yang berbeda.

Dia sepenuhnya menyadari, seperti juga  dirinya, setiap orang pasti punya sisi lemah dan sisi kurang dalam hidupnya. Karena itu, dia tidak ingin kata-katanya dia keluarkan untuk memberikan penilaian keburukan.

Setelah satu jam, lelaki itu kemudian menyudahi orasinya dengan doa. Suaranya lembut dan menyentuh. Dengan penuh kerendahan hati dia lantunkan harapan tentang kebaikan kepada semua orang. Tentang keselamatan umat untuk dunia dan akhirat.

Setengah terpejam laki-laki itu terus dengan khusu’ menyampaikan harapan kepada sang pemilik kehidupan. Lantunan doa yang dia panjatkan menyentuh kalbu mengetuk jiwa. Semua yang hadir ikut hanyut dalam butiran-butiran doa yang dia sampaikan. Semua yang hadir mengaminkan doanya. Menguatkan dalam hati dan berharap semoga Allah mengijabahi.

Seusai berdoa, laki-laki itu berdiri dari duduknya. Dia ingin berpamitan karena di tempat lain dia juga sudah ditunggu kedatangannya. Namun ibu-ibu itu seolah enggan melepaskannya. Mereka berebut mendekatinya. Ada yang ingin bersalaman. Ada yang ingin mengabadikan pertemuannya dengan lelaki yang didambakan itu dengan photo bersama. Ada juga yang sengaja berlama-lama berdiri di sampingnya untuk curhat dan bercerita.

Baca Juga :   Amankan Rapat Pleno Terbuka Rekap Verfak Kabupaten, Mako Polres Selayar Terjunkan 40 Personil Gabungan

Semua ditanggapinya dengan senyum dan sikap yang ramah. Semua dilayaninya dengan penuh kesabaran. Karena dia tidak mengecewakan. Dia tidak ingin kehadirannya memunculkan kegundahan.

Karena itu dia tetap berdiri dan memberi waktu. Dia memilih memberi sapa satu persatu dengan senyum dan kelembutan. Karena baginya senyuman merupakan tanda persaudaraan, ekspresi kejernihan, simbol dan misi kasih sayang, serta hamparan cinta yang tidak bertepi.

Setelah dirasa cukup lelaki itu berpamitan pergi. Dia berjalan ke arah mobil yang sudah menanti. Langkahnya masih terus diiringi oleh ibu-ibu itu dengan doa setulus hati. Langit yang cerah seolah ikut memberikan suasana kegembiraan ketika mobil yang ditumpanginya pelan-pelan menapaki jalanan bersama lambaian tangan ibu-ibu itu ketika menghantarnya pulang.