cMczone.com — “Saya mengenal nama suku Talang Mamak sejak 2011. Tapi baru pada 2021 saya benar-benar datang dan tinggal di tengah-tengah mereka. Yang saya saksikan menyayat hati. Mereka semakin terpinggirkan, tanah ulayat mereka digerus oleh HGU, hutan adat hampir habis, dan pengakuan formal dari negara pun belum datang.”
“Terima kasih saya ucapkan kepada Prof. Dr. H. Ashaluddin Jalil, MS atas undangan spesialnya, senang rasanya dapat berkontribusi dalam FGD ini” ucap Romi
Dalam kesaksian Rusdi Bromi, seorang aktivis sosial yang juga Ketua Warga Bumi Putra (WBI) Provinsi Riau, saat diundang sebagai narasumber dalam Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat Talang Mamak: Langkah Menuju Pengakuan Formal” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau (FISIP UNRI) pada 24 Juli 2025.
Dalam forum tersebut, Rusdi menyampaikan dengan lantang bahwa suku Talang Mamak harus segera diakui sebagai masyarakat hukum adat secara resmi oleh negara, karena mereka telah memenuhi seluruh syarat secara antropologis, historis, dan sosiologis. Namun hingga hari ini, eksistensi mereka masih belum diakui dalam sistem hukum dan administrasi negara.
Penghilangan Hak dan Peminggiran yang Sistematis
Talang Mamak merupakan salah satu suku asli di Riau, terutama di wilayah Kabupaten Indragiri Hulu dan sebagian Pelalawan. Mereka memiliki sejarah panjang dan struktur adat yang kuat—terdiri dari batin, patih, ninik mamak, dan tokoh spiritual—serta kearifan lokal dalam mengelola hutan dan tanah ulayat secara kolektif.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, tanah ulayat mereka telah dikapling menjadi areal perkebunan sawit melalui penerbitan Hak Guna Usaha (HGU). diduga beberapa perusahaan menguasai lahan adat secara sepihak, tanpa mekanisme Free, Prior and Informed Consent (FPIC), dan bahkan mengambil area sakral seperti makam leluhur untuk kepentingan investasi.
“Mereka saudara saudara saya, saudara saydara kita sebangsa dan setanah air, keberadaan mereka sudah ada sejak berabad abad lamanya. Mereka sangat baik dan terbuka dengan siapapun yang berkunjung kesana”, mulai dari pemerintah apalagi perusahaan2 yang merampas tanah mereka dengan dengan kedok HGU atau pembelian secara Paksa.
Rusdi menyatakan, “Perusahaan mengelola tanah ribuan hektar tanpa izin yang sah dan tanpa membangun kebun masyarakat 20% sebagaimana diatur dalam UU Perkebunan. Tanah adat dirampas, nilai budaya diabaikan, dan masyarakat hanya menjadi penonton di atas tanahnya sendiri.”
Diterima Sebagai Anak Ponaan, Wujud Komitmen dan Perjuangan
Sebagai bentuk totalitas perjuangannya, pada tahun 2023, Rusdi Bromi secara resmi diterima secara adat sebagai “anak ponaan” oleh masyarakat adat Talang Mamak. Dalam ritual syukuran gita adat, keningnya diolesi darah ayam sebagai tanda telah menjadi bagian dari komunitas adat.
“Saya ingin menjadi bagian dari mereka, bukan sekadar pejuang dari luar. Saya ingin membela mereka dari dalam,” ucapnya.
Seruan Keadilan dan Tanggung Jawab Negara
Rusdi menyerukan agar pemerintah, dari pusat hingga daerah, tidak terus-menerus abai. Talang Mamak bukan hanya warga negara biasa—mereka adalah penjaga hutan, pewaris nilai-nilai luhur Nusantara, dan kelompok yang paling dulu tinggal di tanah ini.
Negara, katanya, harus segera mengakui hak-hak adat mereka, mengembalikan tanah ulayat yang dirampas, menghentikan pemberian izin yang tidak berpihak, serta menjamin pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan mereka.
Harapan
“Saya, Rusdi Bromi, menyerukan: cukup sudah peminggiran ini. Negara harus hadir. Tanah adat bukan untuk diperjualbelikan, hutan adat bukan untuk dikapling investor, dan eksistensi masyarakat adat bukan sekadar catatan antropologi. Mereka saudara saya, saudara kita, mereka adalah Indonesia. Mereka harus hidup dan dilindungi dan di akui keberadaannya.