Budaya Penegakan Hukum Kepolisian Dalam Penanganan Kasus Pidana.

cMczone.com, Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Pedulu Nusantara Tunggal jakarta yang konsen di bidang advokasi kebijakan publik menyikapi Kejahatan yang dilakukan oleh penyidik dipandang sebagai pelanggaran hukum yang serius dan akan ditindak oleh lembaga penegak hukum, seperti pemeriksaan oleh Provost atau penolakan perkara oleh hakim, bahkan dapat dikenakan sanksi pidana tergantung pada berat pelanggarannya, karena penyidik wajib menjalankan tugas sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dengan menjunjung tinggi profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas.

Jenis Kejahatan Penyidik
Penyidik dapat melakukan pelanggaran hukum atau kejahatan berupa
Kekerasan dalam penyidikan :

* Penggunaan kekerasan fisik atau psikis untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan dari tersangka, yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Pelanggaran wewenang :

* Tindakan yang sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan prosedur yang diatur dalam KUHAP, seperti penangkapan atau penahanan yang tidak sah.

Penyalahgunaan kekuasaan :

* Menggunakan posisi dan kewenangannya untuk tujuan pribadi atau kepentingan yang tidak sah.

Rekayasa kasus :

* Membuat laporan atau bukti palsu untuk menjerat orang yang tidak bersalah, seperti yang terjadi dalam kasus Sengkon-Karta.

Obstruction of Justice :

* Berupaya untuk menghalang-halangi suatu proses hukum yang sedang berjalan.
Penanganan Terhadap Kejahatan Penyidik Ketika seorang penyidik melakukan kejahatan, terdapat mekanisme penegakan hukum
Pengawasan Internal:

* Penyidik dapat diperiksa oleh Provost (pengawas internal) untuk pelanggaran kode etik atau hukum yang dilakukannya.

Pembatalan Tindakan di Pengadilan:

* Jika tindakan penyidik terbukti melanggar hukum, majelis hakim dapat menolak atau membatalkan tindakan tersebut.

Sanksi Pidana:

* Pelanggaran yang lebih serius dapat dikenakan sanksi pidana, sesuai dengan aturan yang berlaku.

Sistem Pengawasan:

* lembaga pengawas, seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dapat memantau dugaan rekayasa kasus oleh aparat kepolisian.

Kewajiban Penyidik
Penyidik memiliki kewajiban untuk
Menjunjung Tinggi Supremasi Hukum:

* Melaksanakan penyidikan secara profesional, transparan, dan akuntabel demi terwujudnya keadilan.

Mematuhi KUHAP :

* Bertindak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan tidak melakukan tindakan sewenang-wenang.

Menjaga Integritas dan Etika:

* Menjalankan tugas dengan integritas dan etika yang tinggi, serta tidak terpengaruh oleh kekuasaan, status, atau pengaruh politik.

Saat ini, sistem hukum di Indonesia menghadapi tantangan yang sangat kompleks.
Praktik penyelewengan dalam penegakan hukum, seperti mafia hukum dan peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan, merupakan realitas yang seringkali terjadi.

* Peradilan yang diskriminatif membuat hukum di Indonesia terasa seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap yang lemah, tetapi akan robek jika menangkap yang kaya dan kuat, sebagaimana diungkapkan oleh Plato.

* Tujuan hukum di Indonesia seharusnya adalah membentuk negara yang melindungi semua warga dan memajukan kesejahteraan umum.

* Peran aparat penegak hukum sangat penting dalam mencapai tujuan tersebut.Namun, seringkali dalam praktiknya, penegakan hukum di lapangan tidak memperhatikan rasa keadilan masyarakat, menciptakan tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum di Indonesia.

Law enforcement, atau penegakan hukum, adalah usaha untuk menegakkan norma-norma hukum dan nilai-nilai yang ada di belakang norma tersebut.

Untuk mencapai hal ini, penegak hukum harus memahami spirit hukum yang mendasari peraturan hukum yang mereka tegakkan.
Selain itu, struktur hukum yang baik sangat penting, karena dapat mempengaruhi budaya hukum di masyarakat.

Struktur hukum yang tidak berfungsi dengan baik dapat menciptakan ketidakpatuhan terhadap hukum dan budaya menelikung dan menyalahgunakan hukum.

Dalam konteks penegakan hukum pidana, peran polisi sangat krusial.

1. Polisi berada di garda terdepan dalam penegakan hukum pidana, terutama pada tahap pemeriksaan pendahuluan.
2. Mereka memiliki tugas-tugas penting dalam penyidikan, termasuk penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan pemeriksaan saksi serta tersangka.
3. Namun, dalam pelaksanaan tugasnya, polisi memiliki diskresi, yaitu kebebasan bertindak sesuai dengan penilaian mereka sendiri berdasarkan situasi dan kondisi tertentu.
Sayangnya, seringkali polisi mendapat kritikan karena penggunaan kekerasan dalam pelaksanaan tugas, terutama dalam upaya memperoleh pengakuan terdakwa.

Baca Juga :   Tanggap Karhutla Kapolresta Pekanbaru Berama Dandim 0301 Pekanbaru Berjibaku Memadamkan Lahan 

4. Perilaku semacam ini telah menjadi budaya di kepolisian dan menimbulkan keprihatinan di masyarakat.
5. Oleh karena itu, penting bagi aparat penegak hukum, termasuk polisi, untuk bertindak dengan integritas, keadilan, dan penuh rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugas mereka demi mencapai penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia.

Seperti kita ketahui bersama bahwa di dalam masyarakat selalu ada orang-orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa roda awal perputaran proses peradilan pidana itu dimulai dari masyarakat.

Proses peradilan pidana tersebut telah diatur dalam suatu sistem yang dinamakan Sistem Peradilan Pidana. Dalam sistem peradilan pidana, Polri diberi wewenang untuk melakukan penyidikan dengan landasan hukumnya tercantum pada :

1. Undang-undang nornor 13 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara.

2. Undang-undang nornor 8 tahun 1981 tentang Hukurn Acara Pidana.
3. Undang-undang nomor 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Polisi dalam menjalankan tugasnya selaku aparat penegak hukum harus berlandaskan pada Undang –undang RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Undang-undang Kepolisian Negara.

Berdasarkan UU tersebut yang dimaksud dengan kepolisian yaitu “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kemudian pada ayat (2) mengatur:

“Anggota Kepolisian Negara Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

1. Peran Kepolisian dalam penegakan hukum secara jelas diatur dalam UU No 2 tahun 2002 yaitu Pasal 2, yang menyatakan bahwa “fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarkat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.”

2. Berdasarkan penjelasan pasal 2, fungsi kepolisian harus memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan keadilan.

Pasal 5 ayat 1 UU No. 2 tahun 2002 menegaskan kembali peran Kepolisian yaitu :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam,-

memelihara keamanan dan ketertiban masyarkat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”

Polisi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum, bukan hanya harus tunduk pada hukum yang berlaku sebagai aspek luar, mereka dibekali pula dengan etika kepolisian sebagai aspek dalam kepolisian.

Etika kepolisian adalah norma tentang perilaku polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegakan hukum, ketertiban umum dan keamanan masyarakat.

Polisi yang tidak beretika dan tak berintegritas dalam tugas telahmenjadi parasit-parasit keadilan yang menciptakan Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai lingkaran setan mafia peradilan.

Masyarakat menjadi enggan berhubungan dengan polisi dan lembaga kepolisian karena keduanya telah menjadi mesin terror dan horror. Inilah contoh nyata bahwa SPP bersifat kriminogen.

Dalam tahap pra ajudikasi ini, KUHAP memberikan kewenangan yang cukup besar kepada kepolisian, yaitu
1. Diberikan peran dalam penanganan kriminal di Negara Indonesia.
2. Dalam pelaksanaan wewenang tersebut , kepolisian berperan dalam melakukan kontrol kriminal atau crime control dalam bentuk : investigasi, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan juga penyitaan.

Dalam tahapan inilah, kekerasan seringkali dilakukan oleh polisi dalam penyidikan untuk mendapatkan pengakuan tersangka.

Perilaku ini telah menjadi kebiasaan yang dapat ditunjukkan dari berbagai hasil penelitian dilapangan ,yang disebabkan oleh ketiadaan lembaga pengawas penyidikan, instrumen hukum yang tidak lengkap, adanya perlindungan dari institusi, dan sikap tidak professional dari polisi.

Keadaan ini menyebabkan tidak ada kesempatan tersangka untuk memperjuangkan hak-haknya dan pelaku kekerasan tak terjamah.

Hal ini berujung pada profesionalitas yang berkaitan dengan masalah moral yang dibakukan menjadi kode etik, dan adanya pelanggaran kode etik menunjukkan adanya masalah moral dalam tubuh polisi.

Maka dari itu diperlukan adanya perbaikan moral pada penyidik agar penyidikan dapat berlangsung dengan baik dan benar sesuai harapan.

Baca Juga :   Pangkogabwilhan I Dampingi Kepala BNPB dalam Konferensi Pers "Pengoperasian Tower 5"

1. Masalah moralitas penegak hukum dari waktu ke waktu masih merupakan persoalan yang relevan untuk dibicarakan, karena apa yang disajikan oleh media massa seringkali bersifatparadoks.
2. Pada satu sisi, penegak hukum di tuntut untuk menjalankan tugas sesuai denganamanat undang-undang yang berujung pada pemberian putusan dengan substansi berupa keadilan bagi para pihak, akan tetapi di sisi lain dijumpai penegak hukum yang justru melakukan kejahatan dan ini menyebabkan citra lembaga penegak hukum dan penegakan hukum Indonesia terpuruk di tengah-tengah arus perubahan jaman.

Penyimpangan perilaku polisi merupakan gambaran umum tentang kegiatan petugas polisi yang tidak sesuai dengan wewenang resmi petugas, wewenang organisasi, nilai dan standar perilaku sopan.

Dapat dikatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh polisi itumerupakan perilaku menyimpang yang terkait erat dengan kekuasaan dan wewenang yang ada padanya.

Barker dan Carter menyoroti adanya tiga bidang penyimpangan perilaku pada polisi, yaitu:

1. Penyiksaan fisik, terjadi jika seorang polisi menggunakan kekuatan lebih dari yang dibutuhkan untuk melakukan penangkapan atau pengge ledahan resmi, Penggunaan kekuatan fisik yang berlebihan oleh petugas polisi terhadap orang lain tanpa alasan dengan menyalahgunakan wewenang.
2. Penyiksaan psikologis, terjadi jika petugas polisi secaralisan menyerang, mengolok-olok, memperlakukan secara terbuka atau melecehkan seseorangatau menempatkan seseorang yang berada di bawah kekuasaan polisi dalam situasi di mana harkat martabat dan juga citra orang tersebut terhina dan tidak berdaya, serta yang,-

3. Penyiksaan hukum, berupa pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional seseorang, hak yang dilindungi oleh hukum, oleh seorang petugas polisi.

Kekerasan psikologis banyak dilakukan penyidik dengan maksud untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan dari tersangka.

* Melalui ungkapan kata-kata yang kasar, tidak sopan,ataupun melalui gesture yang menunjukkan ejekan, hinaan, bahkan umpatan atau sumpah serapah.

* Seorang tersangka mengungkapkan bahwa selama ia diperiksa, ia dipandang rendah, sebelah mata oleh penyidik, dan tak menghargainya sebagai manusia.

* Pada praktek dilapangan, banyak ditemukan bahwa tersangka dipermainkan nasibnya dengan berbagai janji akan diringankan bahkan dibebaskan dari hukuman, dengan tipu muslihat itu penyidik berharap tersangka mau mengaku atau memberi keterangan sesuai keinginan penyidik.

Bentuk kekerasan psikologis yang lain adalah pemeriksaan dilakukan pada malam hari, di mana secara psikologis tersangka dalam keadaan lelah secara fisik, dan secarapsikis tidak dapat berkonsentrasi men- jalani pemeriksaan sehingga akan dengan mudah mengikuti kemauan dari penyidik.

* Fakta lainnya adalah kebanyakan dari tersangka yang mengalami kekerasan memiliki latar belakang pendidikan yang cukup rendah, pengetahuan tentang hukum yang rendah, serta tindak pidananya merupakan tindak pidana biasa.

Hal ini berbeda dengan mereka para tersangka yang berpendidikan tinggi serta memiliki kedudukan yang tinggi atau pengaruh politik yang besar, dimana mereka lebih mendapatkan perlakuan yang baik dan tidak ada kekerasan.

* Seringkali penasehat hukum dihadirkan atau diberikan setelah pemeriksaan selesai sehingga tidak tahu menahu mengenai jalannya pemeriksaan, meski hal itu merupakan kewajiban bagi penyidik untuk memenuhi hak tersangka terutama terhadap kasus yang ancaman pidananya lebih dari 5 tahun.

* Kekerasan dalam penyidikan masih sering terjadi, terutama apabila pemeriksaan tidak didampingi oleh penasihat hukum.

Team S3 PPNT yang fokus di bidang kebijakan publik menilai bahwa sebenarnya undang-undangnya sudah baik, akan tetapi dalam praktiknya masih perlu disempurnakan.

Kemampuan penyidik perlu ditingkatkan keahliannya.

Berkaitan dengan pengawasan, pandangan dari beberapa penasehat hukum terbelah.

1. Ada yang beranggapan pengawasan eksternal tidak diperlukan apabila penyidik sudah memiliki kemam-puan yang memadai dalam teknik penyidikan.

2. Akan tetapi beberapa penasehat hukum lain berpendapat perlunya pengawasan eksternal meski kemampuan penasehat hukum sudah meningkat.

3. Hal ini tak bisa dilepaskan dari perilaku polisi yang masih mau menerima uang dan perlakuan yang diskriminatif terhadap tersangka apabila di antara mereka mempunyai hubungan kekerabatan.

Baca Juga :   Formasi Riau berencana bawa masalah kabut asap di Riau ke masyarakat internasional

Berdasarkan fakta tersebut di atas, nampak bahwa kekerasan dalam penyidikan sebagai salah satu bentuk perilaku menyimpang masih menjadi kebiasaan bagi polisi dalam menjalankan tugas.

1. Pengakuan atau informasi yang diberikan oleh informan polisi selama penelitian merupakan informasi standar dan seragam, yaitu selalu berupaya menyangkal atau tidak mengakui adanya kekerasan dalam penyidikan.
2. Kondisi yang sedemikian diperparah dengan tidak adanya pengawasan eksternal dalam penyidikan.

Pengawasan yang dilakukan adalah pengawasan dari rekan sendiri sesama penyidikan.

Hal ini sangat rentan dan mudah terjadi kekerasan terhadap tersangka yangdisebabkan adanya pemakluman dari rekan sejawat serta semangat korps yang mendukung apa yang dilakukan oleh penyidik.

* Bahwa pengawas eksternal adalah penasehat hukum, padahal berdasarkan peraturan yang ada, tidak ada satu pasalpun yang menempatkan penasehat hukum sebagai pengawas dalam penyidikan.

* Penasehat hukum hanya bertugas sebagai atau melakukan pendampingan terhadap tersangka yang sebagian besar bersikap pasif saja.
* Pengawasan internal dari tingkat yang lebih tinggi semisal dari Kepolisian Daerah, jarang dilakukan, demikian pula dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Kondisi – kondisi seperti itu mendukung pelestarian perilaku polisi yang berupa kekerasan dalam penyidikan tetap ada dan terpelihara sampai kini.

Kekerasan yang dilakukan oleh penyidik dalam penyidikan bermuara pada moralitas polisi.

Moralitas menunjuk pada perilaku manusia sebagai manusia yang dikaitkan dengan tindakan seseorang, sehingga norma moral merupakan norma yang dipakai untuk mengukur betul salahnya tindakan manusia sebagai manusia.

Ilmu yang membahas tentang moralitas atau,-

tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas atau yang menyelidiki tingkah laku moral adalah etikaPolisi sebagai suatu profesi memiliki kode etik sebagai pedoman tingkah laku dalam pelaksanaan tugas. Kode etik polisi terumus dalam tiga kategori, yaitu :

1. Etika pengabdian.
2. Etika kelembagaan.
3. Etika kenegaraan.

Salah satu etika yang terumus dalam etika kelembagaan adalah setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan perintah kedinasan tidak dibenarkan melampaui batas kewenangannya dan wajib menyampaikan pertanggungjawaban tugasnya kepada atasan langsungnya.

 

Berdasarkan uraian di atas, dapat dijumpai berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi/penyidik dalam penyidikan tidak dibenarkan baik oleh etika polisi, bahkan dapat menjadi tindak pidana.

Persoalan yang ada polisi bukan hanya melulu pada penguasaan teknis (hardskill), akan tetapi juga kemampuan yang bersifat softskill, salah satunya adalah komunikasi.

Hal ini disadari betul oleh Mabes Polri yang berpendapat bahwa polisi memiliki karakter tertentu yang menghambat komunikasi disebabkan oleh kondisi pekerjaan mereka yang penuh stress dan berkaitan dengan konflik.

Situasi tersebut membuat polisi mengembangkan karakter atau cenderung bersikap negatif dalam berkomunikasi, seperti prasangka buruk, kecurigaan berlebihan, gaya yang opresif, agresif, dorongan untuk menonjolkan diri, sikap tidak menghargai, sok berkuasa, dan tidak berempati.

Dari pembahasan di atas, dapat diambil dua kesimpulan.

1. Polisi masih menggunakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan dari tersangka dalam proses penyidikan. Kekerasan yang dilakukan oleh penyidik meliputi bentuk fisik, psikis, dan hukum. Tersangka sering kali tidak mendapatkan perlindungan hukum karena tidak ada peraturan yang bisa digunakan untuk memperjuangkan hak-hak yang telah dilanggar oleh penyidik. Lembaga pengawas dalam penyidikan tidak berfungsi secara optimal, dan terdapat perlindungan dari institusi kepolisian terhadap penyidik yang melakukan kekerasan.

2. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa polisi dalam menjalankan penyidikan belum mencapai tingkat profesionalisme yang diharapkan. Oleh karena itu, upaya untuk menciptakan polisi yang profesional merupakan tugas berat bagi institusi kepolisian. Proses pembentukan polisi yang profesional harus dimulai sejak tahap seleksi dan pendidikan. Upaya ini harus terus dipupuk karena tugas-tugas kepolisian membutuhkan standar keahlian dan etika yang tinggi. (Arthur Noija SH)