cMczone.com, Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal yang konsen di bidsng advokasi kebijakan publik menyikapi fenomena Influencer ketika memberikan review atas sebuah produk tanpa sepengetahuan Pelaku Usaha bagaikan pisau bermata dua. Apabila review yang diberikan cenderung positif maka akan memberikan dampak yang baik pada peningkatan angka penjualan produk. Sebaliknya, apabila review yang diberikan oleh Influencer cenderung negatif maka secara kontan akan berdampak pada penurunan angka penjualan sebuah produk.
Influencer adalah orang yang memiliki pengaruh besar terhadap banyak orang, terutama di media sosial. Influencer dipercaya dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu, seperti membeli produk atau mengikuti gaya hidup tertentu.
Secara konseptual tujuan Influencer ketika me-review sebuah produk yakni untuk mengulas suatu kondisi, kualitas, kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh produk barang atau jasa tersebut. Biasanya, Influencer akan membagikan pengalaman pribadinya terhadap sebuah produk yang ia gunakan melalui media sosial dengan cara membuat tulisan, memfoto dan merekamnya lalu dibagikannya ke pengguna media sosial lainnya untuk dilihat dan diketahui.
pertanyaanya adalah :
* Apakah kegiatan me-review yang dilakukan oleh Influencer dilindungi oleh hukum positif.
Merujuk pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan UUPK), menjelaskan
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
* Secara yuridis konsumen mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diuraikan pada Pasal 1 angka 1 UUPK, menjelaskan
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
* Dengan demikian dapat diartikan bahwa Influencer merupakan konsumen sebagaimana pengejawantahan Pasal 1 angka 2 UUPK.
1. Asas Itikad Baik dan Tanggungjawab Influencer.
Namun seringkali ketika Influencer memberikan sebuah review atas produk yang digunakannya tidak berdasar pada koridor norma dan hukum positif yang berlaku.
Contoh.
1. Seorang Influencer membagikan pengalaman pribadinya atas sebuah restoran dan makanan yang disajikan oleh restoran tersebut.
Padahal secara faktual Influencer tersebut tidak mencicipi makanan yang telah disajikan tersebut.
2. Seorang Influencer A juga merupakan pengusaha pada bidang food and beverage dan dengan sengaja Influencer A ke datang ke restoran Influencer B yang juga merupakan pengusaha pada bidang food and beverage dan Influencer A memberikan review cenderung negatif atas restoran atau makanan yang disajikan terhadapnya.
Pada dua contoh diatas, Influencer A tidak dapat berlindung pada Pasal 1 angka 1 jo Pasal 1 angka 2 UUPK.
Mengapa demikian.
1. Perbuatan review yang dilakukan oleh Influencer A tidak didasari dengan asas itikad baik dan hanya bertujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri tanpa menimbang adanya kepentingan pihak lain yang harus dihormati juga.
UUPK mengatur mengenai hak pelaku usaha untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 6 huruf b UUPK.
2. Pembatasan Kebebasan Berpendapat dalam UUD 1945 dan UU HAM.
UUD 45 dan UU HAM mengatur mengenai pembatasan hak Influencer ketika ia hendak melakukan review atas sebuah produk, terejawantahkan pada pasal Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya, termasuk dalam menyampaikan pendapat atau ulasan, wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk menjamin penghormatan terhadap hak orang lain.
Dalam hal ini, Influencer yang memberikan ulasan berhak untuk berbicara dan memberikan pendapat, namun mereka juga wajib mempertimbangkan batasan-batasan tersebut agar tidak melanggar hak orang lain, termasuk hak pelaku usaha atas nama reputasi dan keamanan usahanya.
pada Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyatakan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berpendapat diperlukan untuk menjaga kepentingan umum, norma kesusilaan, dan ketertiban masyarakat.
Dalam hal ini, Influencer harus berhati-hati dalam memberikan ulasan yang dapat menimbulkan fitnah, kebencian, atau penyesatan publik.
Bahwa pembatasan kebebasan Influencer kembali ditegaskan oleh Pasal 73 UU HAM juga pada intinya menyatakan hak dan kebebasan yang dimiliki seorang konsumen hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang untuk menjamin adanya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan juga kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
3. Peran Etika Bisnis dalam Review yang diberikan oleh Influencer.
Dari koridor hukum, terdapat “tanggung jawab moral dan etika bisnis” yang harus diperhatikan oleh Influencer pada saat ia hendak melakukan review produk.
1. Etika bisnisi ini merupakan sebuah pemikiran yang berbicara mengenai moralitas berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan bisnis.
2. Etika bisnis menuntut bahwa setiap ulasan yang diberikan harus didasarkan pada fakta yang objektif dan akurat, serta tidak merugikan pihak lain tanpa alasan yang sah.
Bahwa secara konseptual, etika bisnis tidak hanya menjadi tanggung jawab Pelaku Usaha saja melainkan juga menjadi tanggungjawab bersama antara konsumen dengan pelaku usaha.
3. Etika ini mendukung terciptanya iklim usaha yang sehat dan berkelanjutan, serta memastikan bahwa Influencer tidak hanya bertindak untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kepentingan umum.
4. Kebutuhan akan Regulasi Khusus.
Hukum positif Indonesia belum sepenuhnya mengakomodasi regulasi terkait review produk yang dilakukan oleh Influencer. Oleh karena itu, perlu adanya peraturan khusus yang mengatur tentang kewajiban Influencer dalam memberikan ulasan produk, baik dari segi etika, moral, kejujuran serta tanggung jawab hukum.
1. Dengan adanya pengaturan khusus mengenai hal tersebut, maka akan membantu menyelaraskan kepentingan antara pelaku usaha, konsumen, dan Influencer, serta menciptakan iklim bisnis yang lebih sehat di ranah digital.
2. Secara keseluruhan, kegiatan memberikan ulasan produk oleh Influencer memang dilindungi oleh hukum, namun dengan beberapa syarat yang harus diperhatikan. Influencer yang bertindak sebagai konsumen harus memberikan ulasan yang benar dan berdasarkan pada fakta, serta tidak beritikad buruk.
3. Pembatasan atas kebebasan berpendapat dan kewajiban untuk menghormati hak orang lain menjadi dasar bagi hukum Indonesia dalam mengatur aktivitas Influencer.
4. Etika bisnis juga menjadi aspek yang tidak kalah penting untuk menjamin terciptanya pasar yang sehat dan adil. Oleh karena itu, perlu adanya regulasi yang lebih komprehensif untuk mengatur aktivitas ini agar dapat melindungi semua pihak yang terlibat. (Arthur Noija SH)