Fenomena” Media Massa Menjadi Followers Media Sosial” Benarkah?

 

cMczone,com-Oleh: Dedi Saputra, S.Sos (Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Politik)

Saat ini tidak bisa kita pungkiri bahwa kehadiran flatform media sosial melahirkan rasa sukacita, kegembiraan, gairah baru dan mempermudah masyarakat dalam melakukan komunikasi dan interaksi. Sebuah jenis interaksi sosial baru telah lahir dan memukau masyarakat dunia. Hampir tak terbatas ruang dan waktu masyarakat tidak bisa lepas dari “kehidupan baru” di jagat media sosial tersebut. Data statistik menunjukan pengguna media sosial terus mengalami peningkatan yang derastis, hingga pada suatu titik, kita menemukan ada yang mabuk kepayang dan lupa diri. Jum,at,29/04/2022.

Melalui media sosial, semua pihak bebas menyampaikan pendapat, pandangan dan sikap politiknya. Tak ada lagi sekat pembatas atau hirarkis antara yang ahli dengan yang awam. Semuanya adalah subjek yang berhak berbicara dan didengarkan. Namun demikian, dalam perjalanannya ada pihak yang merasa keresahan luar biasa bahwa demokrasi digital juga menyajikan gelombang hoaks dan ujaran kebencian. Gelombang itu bahkan meningkat menjadi pandemi yang menggerogoti sendi kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat serta epidemi yang melahirkan krisis etika publik, terutama dalam hal komunikasi politik dan komunikasi antar masyarakat itu sendiri.

Kemajuan dalam era digitalisasi memang tak bisa kita pungkiri telah membawa kemajuan dibidang informasi dan komunikasi, tetapi juga melahirkan masalah serius terutama di institusi media Konvensional atau media massa dalam berhadapan dengan flatform media sosial saat ini.

Sesungguhnya media sosial telah berhasil menciptakan perubahan revolusioner dalam hal mode komunikasi, interaksi sosial, dan partisipasi politik. Media sosial mampu menembus paradoks komunikasi massa sekaligus paradoks demokrasi. Lewat media sosial memungkinkan setiap orang menjadi subjek yang berbicara dan bertindak.

Baca Juga :   Tekan Covid-19, Ansar Ahmad : Apresiasi Kerja Satgas, Tim Medis dan NakesĀ 

Menurut saya fenomena kehadiran media sosial bukan hanya berdampak kepada ruang demokrasi dan institusi sosial saja, namun kehadiran media sosial sangat berdampak kepada institusi media massa atau media konvensional. Kekusutan komunikasi politik, komunikasi antar warga, kontroversi, peristiwa yang viral dan debat kusir di ruang media sosial dalam banyak hal dilanjutkan di ruang pemberitaan di media massa atau bincang di televisi(dialog). Pola penyajian yang cenderung cepat, spontan dan instan di media sosial tersebut tidak diimbangi dengan sesuatu yang berbeda, tetapi justru dijadikan mode jurnalistik yang baru di media massa konvensional tersebut.

Saat ini program bincang-bincang atau dialog di televisi yang disiarkan secara live atau secara langsung sedang kita nikmati. Siaran langsung di media televisi adalah ketidakmungkinan memastikan ujaran dan tindakan para narasumber serta ketidakmungkinan menghilangkan ujran ataupun tindakan yang terlanjur diucapkan. Debat yang berlangsung panas dan alot yang berujung saling tunjuk, saling mengeluarkan kata-kata yang tak pantas bahkan kerap menyerang kehidupan pribadi tak bisa terhindarkan.

Secara etis, apakah adegan perdebatan siaran langsung itu layak untuk ditayangkan untuk masyarakat luas di semua umur? Disini kita menempatkan media massa sebagai institusi sosial yang bukan hanya mempertimbangkan kepatutan di ruang publik, melainkan juga secara moral bertanggung jawab untuk mencerahkan publik.

Seperti yang dikatakan Zhongdang Pan daj Gerald M. Kosicki dalam buku Jagad Digital oleh Agus Sudibyo, bahwa konflik adalah oase yang tak pernah kering dalam pemberitaan media. Konflik dan kontroversi selalu memikat untuk diberitakan dan memiliki daya magnetis di hadapan masyarakat. Namun, perlu dipersoalkan juga bahwa motif media terhadap konflik atau kontroversi tersebut, apakah motif komodifikasi dipertimbangkan berdasarkan oplah, rating, klik dan hit ataukah motif sosial membantu masyarakat memahami persoalan dan mengambil pelajaran berharga dan mencari jalan dalam penyelesaikan masalah?. Serial pemberitaan yang bombastis atau provokatif menyebabkan kontroversi tak berkesudahan, mengaburkan substansi persoalan dan mengaburkan hal lain yang tak kalah pentingnya untuk di diskusikan dalam kemasan program dialog.

Baca Juga :   Bulan Puasa Yang Penuh Berkah Kapolsek Jangkat Iptu Deni Saepudin Membagi Kan Takjil

Tentu saja sangat memprihatinkan bahwa negativitas media sosial justru diamplifikasi oleh media massa, khususnya media daring dan televisi. Kekusutan komunikasi politik, kontroversi dan debat kusir di media sosial dalam banyak kejadian dilanjutkan di ruang pemberitaan di media online atau media televisi.

Kita lihat diskusi di media sosial begitu keras dan tak terkendalikan. Proses berkomunikasi di media sosial seperti berjalan tanpa ada standar etika yang jelas, sehingga menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian. Semua orang dibiarkan untuk berbicara secara luas, bebas, lugas, spontan dan instan seolah-olah sedang berada pada level komunikasi antarpribadi. Seseorang begitu apriori dalam mengomentari orang lain seakan akan sedang berada di komunikasi kelompok. Padahal media sosial adalah penggabungan antar mode komunikasi antarpribadi, kelompok, publik dan massa sekaligus.

Pada situasi seperti itu, harapan sebenarnya ada pada media massa atau media konvensional. Media massa diharapkan mampu mengurai kekusutan komunikasi dan interaksi di media sosial. Namun, harapan itu terbentur dan menjadi kabur. Menurut Nikos Smyrnaios dalam bukunya yang berjudul” Journalism facing the internet Oligopoly: google, facebook dan news information” harapan itu terbentur disebabkan oleh media massa tidak berani mengabaikan begitu saja apa yang berkembang di media sosial. Beberapa media massa dengan sadar memanfaatkan opini yang berkembang di media sosial sebagai bahan pemberitaan. Secara ambigu Nikos meringkas hubungan antara media massa dengan media sosial dengan istilah Cooperation (Kejasama) sekaligus competition(berkompetisi).

Baca Juga :   Di Lantamal IV, 13 Perwira dan 8 PNS Naik Pangkat

Tanpa menyampingkan dampak demokratisnya, media sosial berkembang sebagai forum diskusi yang sedemikian rupa yang mengenyampingkan etika publik atau etika komunikasi. Media sosial berkembang bukan hanya sebagai sarana artikulasi kebebasan, tetapi juga sarana untuk mengungkapkan sikap apriori, prasangka buruk, kebencian dan provokasi. Namun demikian, peran media sosial tersebut tidak sepenuhnya bisa menggantikan peran media massa atau media konvensional yang beradab.

Ayo kita bayangkan jika media massa atau media konvensional mengalami kemunduran atau memudar, sementara media baru atau media sosial makin mendominasi di ruang publik, yang terjadi adalah ketiadaan aturan.

Untuk bertahan dari hadapan era media sosial saat ini, media massa atau media konvensional mesti kembali kepada Good Jurnalism. Media massa atau media konvensional tidak harus menjadi pengekor media sosial dalam hal kebiasaan menyebarkan informasi yang serba instan dan spontan dan bahkan berisi provokasi atau kebohongan. Media massa harus kembali kepada esensinya sebagai jurnalisme yang baik dan beretika.

Sumber Bacaan: Jagad Digital” Pembebasan dan Penguasaan.(Srl)