PENERAPAN HUKUM PROGRESIF PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

JURNAL
TEORI HUKUM
PENERAPAN HUKUM PROGRESIF PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh : Rusdi Bromi
email : [email protected]
Pendahuluan
A. Latar Belakang
 
Pemberitaan tentang korupsi seakan tak pernah berhenti mewarnai layar kaca. Para pelaku korupsi adalah para pegawai atau pejabat pemerintahan yang menempati posisi strategis. Lantas kita jadi bertanya, hidup mereka sudah enak, gaji pastilah besar, semuanya sudah dimiliki, lalu masih saja korupsi yang sangat merusak sendi sendi kehidupan tersebut terjadi bahkan semakin massif dan fulgar.
Alasan seseorang korupsi bisa beragam, namun secara singkat dikenal teori GONE untuk menjelaskan faktor penyebab korupsi.[1] Teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack Bologna adalah singkatan dari Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan)[2] dan dalam
Teori GONE mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tak pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor yang serakah. Keserakahan ditimpali dengan kesempatan, maka akan menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi. Setelah serakah dan adanya kesempatan, seseorang berisiko melakukan korupsi disebabkan oleh factor internal dan eksternal dan  gaya hidup yang berlebihan serta pengungkapan atau penindakan atas pelaku yang tidak mampu menimbulkan efek jera.
Korupsi yang terjadi hamper menyeluruh pada setiap pengambil kebijakan mulai dari tingkat pejabat tinggi Negara, lembaga lembaga strategis di Pemerintahan sampai ke tingakat RT, bahkan yang membuat kita semakin miris seorang Ketua lembaga anti Korupsi pun melakukan perbuatan yang sangat tidak pantas dan memalukan, dimana seharusnya lembaga anti Rasuah (KPK) yang seharusnya menjadi lembaga yang bertanggung jawab atas penekan tingkat penyalahgunaan keuangan Negara dengan jumlah yang tidak sedikit. Yang telah ditetapkan sebagai tersangka yang saat ini proses hukumnya terus berlanjut.
B.RUMUSAN MASALAH
  1. Mengapa Korupsi di Indonesia Terus terjadi.?
  2. Apa Dampak Dari Penerapan Hukum Progresif dalam Tindak Pidana Korupsi?
 Kajian Teori
 Hukum progresif merupakan pemikiran perkembangan hukum yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo, berpandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk hukum.[3] Dasar pemikiran beliau bahwa kajian hukum saat ini telah mencapai ekologi dalam yang mendasar pada pemikiran antroposentrisme. Suatu faham yang berpusat pada manusia sehingga manusia dianggap memiliki kemampuan cipta, rasa, bahasa, karya, dan karsa sebatas diizinkan oleh Sang Kholiq. Sehingga hukum tidak memutus maunya sendiri tanpa belajar dari lingkungan hidup. Pandangan manusia sebagai Kholifah fil ardh menjadi dasar bahwa Tuhan sangat memuliakan ciptaan-Nya dengan kemuliaan dan hormat. Sehingga hukum buatan manusia seharusnya tidak mereduksi kemuliaan dan hormat sebatas yang dikatakan dalam undang-undang. Hukum progresif memahami konsep keadilan sebagai hukum yang benar-benar memperhatikan sumber-sumber hukum yang baru untuk tercapainya keadilan. Sehingga tidak lagi mendasar bahwa wanita dan anak adalah subyek hukum yang paling lemah.
Supremasi hukum akan tercapai apabila terjadi pembagian kekuasaan diantara lembaga pemeritahan yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang mana Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi yang menganut konsep ini. Montesquieu paling dikenal dengan ajaran Trias Politika (pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga): eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang). Miriam Budiardjo[4] mengungkapkan Undang_-Undang Dasar 1945 tidak menganut trias politica, tetapi oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 menyelami jiwa demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut trias politica dalam arti pembagian kekuasaan.[5]
Pendidikan Tinggi Hukum; Pendidikan hukum mempengaruhi perubahan mindset setiap penegak hukum, yang dijadikan suatu diskursi khusus dalam konsep pendidikan hukum. Bahwa pembelajaran hukum saat ini mengkerucut pada aspek teknologis yang lebih menekankan pada pembinaan ketrampilan profesi daripada bahasan keadilan dan kemanusiaan. Sehingga berkutat pada penekanan pengetahuan hukum dan cara menggunakan hukum dalam penegakannya. Hukum dijadikan sebagai teknologi/mesin penyelesaian perkara. Pada aliran hukum progresif yang dijadikan pilar pendidikan hukum adalah pendidikan hukum sebagai pendidikan manusia. Pendidikan hukum saat ini dianggap sebagai alat/optik, sejatinya tidak mengajarkan secara sistematis mengkaji hukum sebagai sarana pengatur dalam masyarakat tetapi bagaimana menjalankan hukum dengan benar. Sehingga terkesan seperti ketrampilan tukang, yang outputnya adalah: 1. Peraturan apakah yang harus dipakai dalam menyelesaikan kasus? 2. Bagaimana teknik penerapannya? Akhirnya hukum bukan sebagai tempat mencari keadilan dan kebenaran, namun sebagai medan pertempuran mencari kemenangan. Para pendidik perlu memberikan cara pembelajaran yang menyentuh aspek psikologis mahasiswa yang membangun komitmen, empati, dedikasi, dan kejujuran. Dan sebagai gagasan dalam dunia pendidikan tinggi hukum adalah pendidikan hukum berbasis promanusia bukan profesionalisme. Yang tidak menghakimi langsung sebagai perkara hukum melainkan sebagai masalah manusia dan kemanusiaan. Tidak sebagai pendidikan teknologi dan profesional tetapi menjadi tempat mematangkan kemanusiaan. Penegakan Hukum Progresif; Konteks produk perundang-undangan yang perlu diperhatikan bahwa tidak dilihat sebagai hasil kerja profesional, namun sebagai objek ilmu. Perkembangan bantuan hukum probono bagi si miskin dirumuskan sejak era 80-an mendasari ICCPR sebagai landasan perlindungan hak asasi manusia.
Probono bagi si miskin menjadi persoalan apakah diskriminatif atau suatu kesetiaan hukum. Yang sejatinya tidak diperuntukan bagi seluruh warga Indonesia. Hukum progresif mengarah pada aspek moral, sehingga dalam pembentukan hukum berinkorporasi dengan nilai dasar/prinsip moral. Maka probono bagi si miskin sering kali dianggap sebagai langkah progresif sebagai kewajiban pemerintah melindungi segenap bangsa dalam merengkuh keadilan di hadapan hukum. Membaca hukum adalah menafsirkan hukum, karenanya penafsiran hukum merupakan jantung hukum. Sehingga hukum yang sudah berwujud lex scripta harus menjaga kepastian hukum.
bagi para penegak hukum harus berpandangan bahwa hukum bukan sebatas gugusan norma dan logika. Tapi memandang hati nurani melalui empati, kejujuran, dan keberanian. Sehingga prophetic Intelegence merupakan pilar progresif dengan kemampuan manusia mentransformasikan diri dalam interaksi, sosialisasi, dan adaptasi.
 Pembahasan
Menagapa Korupsi di Indonesia Terus terjadi.?
Sepanjang sejarah, sudah ada kasus penipuan yang sangat mengejutkan public dengan merugikan keuangan Negara. Sebut salah satu legenda aksi tipu-tipu itu adalah Eddy Tansil. Eddy Tansil lahir pada 1948 di Makassar. Selama era Orde Baru, dia menekuni dunia bisnis. Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) menyebut mulanya dia berbisnis perakitan becak lalu menjadi agen perusahaan dan perakitan motor. Dia bergerak lewat Tunas Bekasi Motor Company. Bisnisnya kemudian moncer. Lewat bisnis itu dia memiliki gurita bisnis besar yang tentunya menambah pundi-pundi pendapatannya. Memasuki tahun 1990-an, Eddy mendirikan PT Golden Key Group, perusahaan petrokimia.
Dalam investigasi Tempo berjudul Ini Dia Eddy Tansil, Eddy Tansil lantas mengajukan kredit kepada Bank Pembangunan Indonesia alias Bapindo untuk mendanai PT Hamparan Rejeki, anak usaha PT Golden Key Group. Dalam proses pengajuan itu, Eddy diduga meminta rekomendasi Menteri Koordinator Politik Keamanaan, Sudomo, Menteri Keuangan J.B Sumarlin, dan Tommy Soeharto. Ketiganya memang mitra bisnis Eddy.
Karena dibekingi oleh orang kuat dan berpengaruh, Bapindo pun meloloskan kredit. Inilah awal dari kasus penipuan terbesar yang jadi catatan kelam di masa Orde Baru. Sejak 1991, Bapindo sudah berulang kali memberi kredit kepada Eddy. Saat Eddy ingin memperluas proyeknya, Bapindo dengan mudah memberi pinjaman. Pada 1994, Bapindo sudah memberi kredit sebesar Rp 1,7 triliun. Jumlah ini sangat besar pada zamannya. Belakangan diketahui kalau itu semua hanyalah tipu muslihat Eddy Tansil. PT Hamparan Rejeki tidak pernah ada, alias fiktif. Eddy menjebol Bapindo untuk kepentingan pribadinya. Seluruh uang masuk ke kantong pribadinya.
Dalam Menyingkap Misteri Harta Eddy Tansil, dia memiliki aset Rp 1,5 triliun. Konon aset ini bertambah drastis usai dia menipu negara. Kasus ini baru menjadi perbincangan publik pada 1994. Eddy Tansil langsung menjadi buruan negara. Masih mengutip  investigasi Tempo berjudul Ini Dia Eddy Tansil, Tommy Soeharto sebetulnya ikut andil di perusahaan fiktif itu. Namun, karena mengundurkan diri sebelum kasus meledak, nama dia tidak terlalu terseret. Pada 1995, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Eddy Tansil 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta dan uang tebusan Rp 500 miliar. Selain itu dia juga diminta menggantikan uang negara Rp 1,3 triliun. Eddy kemudian ditahan di LP Cipinang.
Belum genap dua tahun sejak ditahan, Eddy Tansil kembali berulah. Ulah ini yang kemudian menambah kebobrokan pemerintah Orde Baru. Pada 4 Mei 1996, Eddy Tansil berhasil kabur dari LP Cipinang. Dia awalnya meminta izin untuk berobat ke rumah sakit. Namun, itu hanya dalih semata. Kenyataannya dia pergi ke luar negeri bersama keluarganya. Menurut Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008), dia kabur usai menyuap para pejabat dan pegawai lapas. Pencarian pun dilakukan di seantero negeri. Namun, hasilnya nihil. Sejak tanggal 4 Mei itu, batang hidung Eddy tak pernah terlihat lagi. Dia hilang bak ditelan bumi. Ada yang menyebut dia sudah tewas. Ada pula yang mengatakan dia berada di China dan mengembangkan bisnisnya di sana. (NEWS – MFakhriansyah, CNBC Indonesia
31 January 2023 11:55 dengan judul Dulu Ada Eddy Tansil, Geger Kini Kasus Indosurya Rp 106 T).
Kemudian pasca lengsernya soehar sebagai Presiden Indonesia karena terjadinya pergolakan poltik yang mengakhiri masa orde baru pada 21 Mei 1998 yang merupakan awal dari era revormasi yang merubah tatanan social, hukum dan politik. Yang tidak berubah adalah korupsi yang terus berkembang dan semakin merajalela maka dibentuklah Komisi Pembertantasan Korupsi (KPK) melalui UU No. 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dibentuk untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Lembaga ini didirikan pada tahun 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, dengan tujuan untuk menangani korupsi yang dianggap tidak bisa ditangani oleh institusi kejaksaan dan kepolisian. Dari sisnilah cikal bakal bentuk keseriusan Pemerintah dalam memberantas tindak Pidana Korupsi.
Roscou Pound yang mengatakan “ Law” dapat dilihat sebagai “ tool of Social engenering “[6] Reformasi jangka pendek terhadap kekuasaan kehakiman bisa dimulai dari Mahkamah Agung, dengan alasan :
  1. Masyarakat telah lama mengeluhkan kegagalan badan peradilan sebagai penjamin supremasi hukum dan tempat menemukan kebenaran serta keadilan. 2. Salah satu pilar cita-cita reformasi adalah mewujudkan rule of law atau supremasi hukum dan badan peradilan merupakan ujung tombak penjamin serta pelaksana supremasi hukum. Hal seperti inipun telah menjadi perhatian dunia Internasional, yaitu apa yang disebut yudicial power dan yudicial system. yudicial power menyangkut kekuasaan kehakiman, sedangkan judicial system menyangkut sistem peradilan. Menyangkut judicial power (Mahkamah Agung), dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 akan diubah dengan Independent of Judiciary dan ini merupakan general principle of law yang sangat penting. Perubahan itu nantinya menyangkut :
  2. Mahkamah Agung merupakan kekuasaan kehakiman tertinggi (Supreme of Court).
  3. Asas kekuasaan kehakiman yang bebas harus ditegaskan dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, bukan dalam penjelasan dan imparsial (tidak boleh memihak), kecuali untuk keadilan dan kebenaran. Oleh karena itu nantinya asas oportunitas dan asas fungsi sosial akan dihapus.
  4. Kewenangan judicial review harus meliputi hak uji materil terhadap undang-undang (lex superiori derogat lex inferiori).
Dengan kondisi seperti ini, nantinya Mahkamah Agung bisa menguji produk legislatif, legislatif sendiri bisa melakukan impeachment terhadap Presiden. Dalam hal pemberian grasi dan rehabiltasi Presiden mutlak harus mendengarkan Mahkamah Agung, sedangkan pemberian abolisi dan amnesti harus mendengarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Karena bisa mengimpech Presiden, maka diperlukan lembaga pengawasan bagi hakim yaitu dewan independent (judicial committee) yang anggotanya terdiri dari lawyer, tokoh masyarakat dan agama dan dari Mahkamah Agung sendiri. Fungsi Mahkamah Agung itu tidak hanya sebagai pengatur dan pengawasan tetapi ada fungsi lain yaitu :
  1. Legal education, semua putusan hakim harus merupakan pendidikan bagi masyarakat.
  2. Law reform function melalui jude made law.
  3. Harus mempromosikan hak asasi manusia dan demokrasi.
  4. Policy making by judge, artinya tempat meyelesaikan konflik antara legislatif dan eksekutif. Mahkamah Agung harus dapat memberikan pertimbangan. Menyangkut judicial system, ini erat kaitannya dengan adanya good governance
  5. Adanya badan legislatif yang kuat.
  6. Kekuasan eksekutif yang profesional dan bebas KKN.
  7. Kekuasaan kehakiman yang independent.
  8. Keberadan Civil soceity yang mantap
  9. Keberadaan leadership sistem yangmempunyai komitmen yang kuat terhadap supremasi hukum.
Dalam proses reformasi kekuasaan kehakiman di Indonesia dengan paradigma baru, maka elemen penegak hukum harus mendapat pembinaan moral yang reel serta dapat dipertanggung jawabkan didunia maupun akhirat, sebab seperti apa yang dikatakan oleh Herman Manheim “ it is not the formula that desides the issue but the men who have apply the formula “ baik buruknya hasil dari penegakan hukum tidak tergantung pada baiknya undang-undang, tetapi tergantung kepada moralitas penegak hukum itu sendiri.
Masalah Penegakan Hukum
Perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan masyarakat akibat globalisasi dan perubahan sosial, dapat menimbulkan ketegangan dan keresahan sosial (Social unrest and social tention), hukum dituduh ketinggalan jaman, tidak memenuhi rasa keadilan, penegak hukum dianggap tidak profesional, adresat norma dianggap tidak sadar hukum, lembaga peradilan didakwa tidak dapat menggali nilai-nilai dalam masyarakat, diskresi muncul secara tidak terkendali, DPR dilecehkan, Hakim didakwa menyalahgunakan kebebasan dan sebagainya Atas dasar asumsi tadi penegakan hukum aktual (actual enforcement) akan jauh dari penegakan hukum ideal (total enforcement and full enforcement), hukum hanya melindungi yang “ powerfull”, pelanggaran hak asasi manusia akan terus berlanjut dan seterusnya. Disinilah masalah kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum dirasakan sebagai kebutuhan yang pada dasarnya mengandung dua hal yakni aman (jasmaniah) dan tenteram (rohaniah), yang semuanya dapat dicakup dalam tujuan hukum yaitu kedamaian (the function of law is to maintain peace). Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep yakni konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa kecuali, konsep yang bersifat penuh (Full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual dan konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang mnucul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana, kualitas sumberdaya manusia, kualitas perundangundangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.
Waktu demi waktu terus berlalu namun tindak pidana korupsi terus terjadi dan yang sangat ironinya walapun lembaga khusus yaitu KPK sudah dibentuk namun yang terjadi korupsi semakin merajalela semakin massif dan bahkan terstruktur dengan rapi yang pada puncaknya terjadi penyuapan terhadap Ketua KPK dalam perkara yang sedang ditangani KPK yaitu Korupsi dikementrian pertanian dengan tersangkanya Menteri Pertanian Sahrul yasin Limpo. Lembaga yang sangat diharapkan unruk memberantas Korupsi jutru terlibat dalam perkara korupsi dan itupun menimpa sang ketuanya.
Menaikkan Gaji dan tunjangan yang besar kepada Pejabat Negara tidak begitu mempengaruhi untuk menekan angka korupsi di Indonesia, beberapa hal yang menyebabkan sulitnya untuk memberantas Korupsi di Negeri ini antara lain :
1.      Dorongan Kebutuhan (corruption by needs)
Sesorang terpaksa melakukan korupsi dikarenakan gaji yang tidak mencukupi ditengah beban dan kebutuhan hidup yang terus meningkat. Korupsi jenis ini biasanya dengan nialai yang terbatas namun sering terjadi.
2.      Dorongan keserakan (corruption by greeds)
Korupsi pada tataran ini bukan disebabkan karena kebutuhan, namu disebabkan oleh gaya hidup yang ingin bermewah mewah, karena keserkahan tersebut menyebabkan ketika ada peluang maka seseorang akan terus melakukan korupsi sampai yang bersangkutan berhadapan dengan hukum.
3.      Watak dan moral
Manusia yang sudah gelap hati dan perasaan akan melakukan berbagai cara agar dapat melakukan korupsi walaupun hidup sudah sangat berkecukupan, karena berdasakan sifat manusia yang tidak merasa pernah puas dengan hasil yang telah ada.
4.      Budaya masyarakat.
Karena kurpsi sudah terjadi secara massif, maka kejadian korupsi sudah dianggap hal biasa dan bukan hal yang baru lagi. Perilaku korup sudah terjadi berulang ulang yang sduah dapat dikatan membudaya.
5.      Lemahnya system Hukum
Factor ini sangat berpotensi besar dalam memberikan peluang dan tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku korupsi. Jiiak sitem hukum dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi ditegakkan serta dijalankan dengan kesungguhan serta terus melakukan upaya upaya pencegahan serta penerapan hukum yang menimbulkan efek jera maka kejahatan dalan merugikan keuangan Negara dapat terus ditekan.[7]
Dampak Dari Penerapan Hukum Progresif dalam Tindak Pidana Korupsi
Hakim yang memutuskan putusan Mahkamah Agung : Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013. Melakukan upaya yang berani dan bersungguh sungguh dalam upaya pemebrantasan terhadap pelakuk tindak pidana korupsi yang akan menimbulkan efek jera yang lebih atas putusan tersebut. Dimana hakim memang penjadi factor penting dalam upaya menekan angka tindak pidana korupsi yang terus terjadi. Putusan Mahkamah Agung : Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013. dengan tersangka Angelina merupakan terpidana korupsi proyek di Kementerian Pendidikan dan Wisma Atlet di Palembang yang sebelumnya sudah diputus pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan vonis hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta atau diganti dengan 6 bulan kurungan. Majelis hakim menilai Angelina terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Pada tingkat kasasi, dimana majelis hakim yang dipimpin Hakim Artidjo Alkostar memutus terdakwa bersalah dan menambah hukuman pada tingkat pengadilan sebelumnya. Berikut vonis Angelina yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013.
“Angelina Sondakh dihukum 12 (dua belas) tahun penjara dan denda sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 8 (delapan) bulan, Menghukum pula Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $ 2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar Amerika”.
Putusan pada tingkat kasasi tersebut dapat kita analisis sebagai putusan progresif karena hakim melakukan terobosan hukum dengan tidak lagi menerapkan pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melainkan menerapkan pasal 12 a UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini dikarenakan terdakwa berperan secara aktif dalam memprakarsai terjadinya korupsi yang dilakukan pada proyek di Kemendiknas dan Kemenpora.
Selain itu, hakim pada tingkat kasasi juga menerapkan Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berupa pidana pembayaran uang pengganti hasil tindak pidana korupsi. Hal ini dibuktikan melalui adanya transaksi yang dilakukan oleh terdakwa dalam setahun yang jumlahnya melebihi dari gaji atau honor yang seharusnya diterima terdakwa.
Penerapan vonis maksimal sesuai tuntutan jaksa ini juga merupakan keberanian hakim yang menunjukkan semangat dalam pemberantasan korupsi karena dampak yang ditimbulkan korupsi sangat luas dan beragam.
Namun tidak semua pihak yang mendukung penerapan hukum dengan efek jera yang lebih terasa, salah satunya RUU perampasan asset yang hingga saat ini tidak pernah dibahas apalagi untuk disahkan menjadi undang-undang. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset, penting untuk memastikan para pelaku tindak pidana, termasuk koruptor tidak bertambah kaya dari hasil tindak pidana korupsinya, oleh karena hal tersebut rakyat Indonesia yang turut menanggung akibat dari perbuatan para koruptor, manusia yang tidak memiliki moral dan keimana, manusia yang rakus dan tidak takut akan dosa atas pebuatan yang dilakukannya, berharap kepada para penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat) untuk terus mendorong penerapan hukum Progresif agar nilai nilai keadilan yang merupakan tujuan hukum dapat hadir ditengah tengah masyarakat, agar negeri ini tidak terus terpuruk dan terseok seok dalam melangkah untuk menjadi Negara Makmur, maju dan berdaulat.
IV.             Kesimpulan
Seperti yang tertuang dalam buku Satjipto rahardjo yang menyebutkan Hukum Progresif itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum, harus pro rakyat bukan malah sebaliknya dimana yang sering terjadi hukum selalu Pro pada orang orang besar yang berduit banyak sehingga hukum tersebut tidak lagi memiliiki nilai keadilan para penegak hukum harus berani menerobos kekakuan hukum, hukum yang memanusiakan manusia serta mengantarkan manusia pada kesejahteraan dan kebahagiaan, hukum yang memiliki  tujuan lebih jauh serta menekankan hidup yang baik dan benar, hukum yang mendorong peran public yang membangun Negara hukum yang memiliki hati nurani yang mendorong kecerdasan spiritual untuk merobohkan, menggaanti dan membebaskan yang selalu responsive.
[1] BPKP. Buku Panduan Fraud Auditing.  BPKP (2008).
[2] Gone. Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques (1993)
[3] Rahardjo,Satjipto,2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta
[4] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982,hal.156
[5] M. Kusnardi&Bintan Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Gramedia, Jakarta,1989,hal.1
[6] Roscou Pound, An Introduction to Philosofi of Law, New haven,1922
[7] Muhammad Nuruh Huda (2014) Tindak Pidana Korupsi. Fakultas Hukum UIR
Baca Juga :   Hafizha Rahmadhani: Pembentukan Karakter Pelajar Merupakan Amanat Nasional...