JURNAL
TEORI HUKUM
PENERAPAN HUKUM PROGRESIF PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh : Rusdi Bromi
email : [email protected]
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pemberitaan tentang korupsi seakan tak pernah berhenti mewarnai layar kaca. Para pelaku korupsi adalah para pegawai atau pejabat pemerintahan yang menempati posisi strategis. Lantas kita jadi bertanya, hidup mereka sudah enak, gaji pastilah besar, semuanya sudah dimiliki, lalu masih saja korupsi yang sangat merusak sendi sendi kehidupan tersebut terjadi bahkan semakin massif dan fulgar.
Alasan seseorang korupsi bisa beragam, namun secara singkat dikenal teori GONE untuk menjelaskan faktor penyebab korupsi.[1] Teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack Bologna adalah singkatan dari Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan)[2] dan dalam
Teori GONE mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tak pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor yang serakah. Keserakahan ditimpali dengan kesempatan, maka akan menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi. Setelah serakah dan adanya kesempatan, seseorang berisiko melakukan korupsi disebabkan oleh factor internal dan eksternal dan gaya hidup yang berlebihan serta pengungkapan atau penindakan atas pelaku yang tidak mampu menimbulkan efek jera.
Korupsi yang terjadi hamper menyeluruh pada setiap pengambil kebijakan mulai dari tingkat pejabat tinggi Negara, lembaga lembaga strategis di Pemerintahan sampai ke tingakat RT, bahkan yang membuat kita semakin miris seorang Ketua lembaga anti Korupsi pun melakukan perbuatan yang sangat tidak pantas dan memalukan, dimana seharusnya lembaga anti Rasuah (KPK) yang seharusnya menjadi lembaga yang bertanggung jawab atas penekan tingkat penyalahgunaan keuangan Negara dengan jumlah yang tidak sedikit. Yang telah ditetapkan sebagai tersangka yang saat ini proses hukumnya terus berlanjut.
B.RUMUSAN MASALAH
-
Mengapa Korupsi di Indonesia Terus terjadi.?
-
Apa Dampak Dari Penerapan Hukum Progresif dalam Tindak Pidana Korupsi?
Kajian Teori
Hukum progresif merupakan pemikiran perkembangan hukum yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo, berpandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk hukum.[3] Dasar pemikiran beliau bahwa kajian hukum saat ini telah mencapai ekologi dalam yang mendasar pada pemikiran antroposentrisme. Suatu faham yang berpusat pada manusia sehingga manusia dianggap memiliki kemampuan cipta, rasa, bahasa, karya, dan karsa sebatas diizinkan oleh Sang Kholiq. Sehingga hukum tidak memutus maunya sendiri tanpa belajar dari lingkungan hidup. Pandangan manusia sebagai Kholifah fil ardh menjadi dasar bahwa Tuhan sangat memuliakan ciptaan-Nya dengan kemuliaan dan hormat. Sehingga hukum buatan manusia seharusnya tidak mereduksi kemuliaan dan hormat sebatas yang dikatakan dalam undang-undang. Hukum progresif memahami konsep keadilan sebagai hukum yang benar-benar memperhatikan sumber-sumber hukum yang baru untuk tercapainya keadilan. Sehingga tidak lagi mendasar bahwa wanita dan anak adalah subyek hukum yang paling lemah.
Supremasi hukum akan tercapai apabila terjadi pembagian kekuasaan diantara lembaga pemeritahan yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang mana Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi yang menganut konsep ini. Montesquieu paling dikenal dengan ajaran Trias Politika (pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga): eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang). Miriam Budiardjo[4] mengungkapkan Undang_-Undang Dasar 1945 tidak menganut trias politica, tetapi oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 menyelami jiwa demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut trias politica dalam arti pembagian kekuasaan.[5]
Pendidikan Tinggi Hukum; Pendidikan hukum mempengaruhi perubahan mindset setiap penegak hukum, yang dijadikan suatu diskursi khusus dalam konsep pendidikan hukum. Bahwa pembelajaran hukum saat ini mengkerucut pada aspek teknologis yang lebih menekankan pada pembinaan ketrampilan profesi daripada bahasan keadilan dan kemanusiaan. Sehingga berkutat pada penekanan pengetahuan hukum dan cara menggunakan hukum dalam penegakannya. Hukum dijadikan sebagai teknologi/mesin penyelesaian perkara. Pada aliran hukum progresif yang dijadikan pilar pendidikan hukum adalah pendidikan hukum sebagai pendidikan manusia. Pendidikan hukum saat ini dianggap sebagai alat/optik, sejatinya tidak mengajarkan secara sistematis mengkaji hukum sebagai sarana pengatur dalam masyarakat tetapi bagaimana menjalankan hukum dengan benar. Sehingga terkesan seperti ketrampilan tukang, yang outputnya adalah: 1. Peraturan apakah yang harus dipakai dalam menyelesaikan kasus? 2. Bagaimana teknik penerapannya? Akhirnya hukum bukan sebagai tempat mencari keadilan dan kebenaran, namun sebagai medan pertempuran mencari kemenangan. Para pendidik perlu memberikan cara pembelajaran yang menyentuh aspek psikologis mahasiswa yang membangun komitmen, empati, dedikasi, dan kejujuran. Dan sebagai gagasan dalam dunia pendidikan tinggi hukum adalah pendidikan hukum berbasis promanusia bukan profesionalisme. Yang tidak menghakimi langsung sebagai perkara hukum melainkan sebagai masalah manusia dan kemanusiaan. Tidak sebagai pendidikan teknologi dan profesional tetapi menjadi tempat mematangkan kemanusiaan. Penegakan Hukum Progresif; Konteks produk perundang-undangan yang perlu diperhatikan bahwa tidak dilihat sebagai hasil kerja profesional, namun sebagai objek ilmu. Perkembangan bantuan hukum probono bagi si miskin dirumuskan sejak era 80-an mendasari ICCPR sebagai landasan perlindungan hak asasi manusia.
Probono bagi si miskin menjadi persoalan apakah diskriminatif atau suatu kesetiaan hukum. Yang sejatinya tidak diperuntukan bagi seluruh warga Indonesia. Hukum progresif mengarah pada aspek moral, sehingga dalam pembentukan hukum berinkorporasi dengan nilai dasar/prinsip moral. Maka probono bagi si miskin sering kali dianggap sebagai langkah progresif sebagai kewajiban pemerintah melindungi segenap bangsa dalam merengkuh keadilan di hadapan hukum. Membaca hukum adalah menafsirkan hukum, karenanya penafsiran hukum merupakan jantung hukum. Sehingga hukum yang sudah berwujud lex scripta harus menjaga kepastian hukum.
bagi para penegak hukum harus berpandangan bahwa hukum bukan sebatas gugusan norma dan logika. Tapi memandang hati nurani melalui empati, kejujuran, dan keberanian. Sehingga prophetic Intelegence merupakan pilar progresif dengan kemampuan manusia mentransformasikan diri dalam interaksi, sosialisasi, dan adaptasi.
Pembahasan
Menagapa Korupsi di Indonesia Terus terjadi.?
Sepanjang sejarah, sudah ada kasus penipuan yang sangat mengejutkan public dengan merugikan keuangan Negara. Sebut salah satu legenda aksi tipu-tipu itu adalah Eddy Tansil. Eddy Tansil lahir pada 1948 di Makassar. Selama era Orde Baru, dia menekuni dunia bisnis. Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) menyebut mulanya dia berbisnis perakitan becak lalu menjadi agen perusahaan dan perakitan motor. Dia bergerak lewat Tunas Bekasi Motor Company. Bisnisnya kemudian moncer. Lewat bisnis itu dia memiliki gurita bisnis besar yang tentunya menambah pundi-pundi pendapatannya. Memasuki tahun 1990-an, Eddy mendirikan PT Golden Key Group, perusahaan petrokimia.
Dalam investigasi Tempo berjudul Ini Dia Eddy Tansil, Eddy Tansil lantas mengajukan kredit kepada Bank Pembangunan Indonesia alias Bapindo untuk mendanai PT Hamparan Rejeki, anak usaha PT Golden Key Group. Dalam proses pengajuan itu, Eddy diduga meminta rekomendasi Menteri Koordinator Politik Keamanaan, Sudomo, Menteri Keuangan J.B Sumarlin, dan Tommy Soeharto. Ketiganya memang mitra bisnis Eddy.
Karena dibekingi oleh orang kuat dan berpengaruh, Bapindo pun meloloskan kredit. Inilah awal dari kasus penipuan terbesar yang jadi catatan kelam di masa Orde Baru. Sejak 1991, Bapindo sudah berulang kali memberi kredit kepada Eddy. Saat Eddy ingin memperluas proyeknya, Bapindo dengan mudah memberi pinjaman. Pada 1994, Bapindo sudah memberi kredit sebesar Rp 1,7 triliun. Jumlah ini sangat besar pada zamannya. Belakangan diketahui kalau itu semua hanyalah tipu muslihat Eddy Tansil. PT Hamparan Rejeki tidak pernah ada, alias fiktif. Eddy menjebol Bapindo untuk kepentingan pribadinya. Seluruh uang masuk ke kantong pribadinya.
Dalam Menyingkap Misteri Harta Eddy Tansil, dia memiliki aset Rp 1,5 triliun. Konon aset ini bertambah drastis usai dia menipu negara. Kasus ini baru menjadi perbincangan publik pada 1994. Eddy Tansil langsung menjadi buruan negara. Masih mengutip investigasi Tempo berjudul Ini Dia Eddy Tansil, Tommy Soeharto sebetulnya ikut andil di perusahaan fiktif itu. Namun, karena mengundurkan diri sebelum kasus meledak, nama dia tidak terlalu terseret. Pada 1995, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Eddy Tansil 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta dan uang tebusan Rp 500 miliar. Selain itu dia juga diminta menggantikan uang negara Rp 1,3 triliun. Eddy kemudian ditahan di LP Cipinang.
Belum genap dua tahun sejak ditahan, Eddy Tansil kembali berulah. Ulah ini yang kemudian menambah kebobrokan pemerintah Orde Baru. Pada 4 Mei 1996, Eddy Tansil berhasil kabur dari LP Cipinang. Dia awalnya meminta izin untuk berobat ke rumah sakit. Namun, itu hanya dalih semata. Kenyataannya dia pergi ke luar negeri bersama keluarganya. Menurut Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008), dia kabur usai menyuap para pejabat dan pegawai lapas. Pencarian pun dilakukan di seantero negeri. Namun, hasilnya nihil. Sejak tanggal 4 Mei itu, batang hidung Eddy tak pernah terlihat lagi. Dia hilang bak ditelan bumi. Ada yang menyebut dia sudah tewas. Ada pula yang mengatakan dia berada di China dan mengembangkan bisnisnya di sana. (NEWS – MFakhriansyah, CNBC Indonesia
31 January 2023 11:55 dengan judul Dulu Ada Eddy Tansil, Geger Kini Kasus Indosurya Rp 106 T).
Kemudian pasca lengsernya soehar sebagai Presiden Indonesia karena terjadinya pergolakan poltik yang mengakhiri masa orde baru pada 21 Mei 1998 yang merupakan awal dari era revormasi yang merubah tatanan social, hukum dan politik. Yang tidak berubah adalah korupsi yang terus berkembang dan semakin merajalela maka dibentuklah Komisi Pembertantasan Korupsi (KPK) melalui UU No. 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dibentuk untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Lembaga ini didirikan pada tahun 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, dengan tujuan untuk menangani korupsi yang dianggap tidak bisa ditangani oleh institusi kejaksaan dan kepolisian. Dari sisnilah cikal bakal bentuk keseriusan Pemerintah dalam memberantas tindak Pidana Korupsi.
Roscou Pound yang mengatakan “ Law” dapat dilihat sebagai “ tool of Social engenering “[6] Reformasi jangka pendek terhadap kekuasaan kehakiman bisa dimulai dari Mahkamah Agung, dengan alasan :
-
Masyarakat telah lama mengeluhkan kegagalan badan peradilan sebagai penjamin supremasi hukum dan tempat menemukan kebenaran serta keadilan. 2. Salah satu pilar cita-cita reformasi adalah mewujudkan rule of law atau supremasi hukum dan badan peradilan merupakan ujung tombak penjamin serta pelaksana supremasi hukum. Hal seperti inipun telah menjadi perhatian dunia Internasional, yaitu apa yang disebut yudicial power dan yudicial system. yudicial power menyangkut kekuasaan kehakiman, sedangkan judicial system menyangkut sistem peradilan. Menyangkut judicial power (Mahkamah Agung), dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 akan diubah dengan Independent of Judiciary dan ini merupakan general principle of law yang sangat penting. Perubahan itu nantinya menyangkut :
-
Mahkamah Agung merupakan kekuasaan kehakiman tertinggi (Supreme of Court).
-
Asas kekuasaan kehakiman yang bebas harus ditegaskan dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, bukan dalam penjelasan dan imparsial (tidak boleh memihak), kecuali untuk keadilan dan kebenaran. Oleh karena itu nantinya asas oportunitas dan asas fungsi sosial akan dihapus.
-
Kewenangan judicial review harus meliputi hak uji materil terhadap undang-undang (lex superiori derogat lex inferiori).
Dengan kondisi seperti ini, nantinya Mahkamah Agung bisa menguji produk legislatif, legislatif sendiri bisa melakukan impeachment terhadap Presiden. Dalam hal pemberian grasi dan rehabiltasi Presiden mutlak harus mendengarkan Mahkamah Agung, sedangkan pemberian abolisi dan amnesti harus mendengarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Karena bisa mengimpech Presiden, maka diperlukan lembaga pengawasan bagi hakim yaitu dewan independent (judicial committee) yang anggotanya terdiri dari lawyer, tokoh masyarakat dan agama dan dari Mahkamah Agung sendiri. Fungsi Mahkamah Agung itu tidak hanya sebagai pengatur dan pengawasan tetapi ada fungsi lain yaitu :
-
Legal education, semua putusan hakim harus merupakan pendidikan bagi masyarakat.
-
Law reform function melalui jude made law.
-
Harus mempromosikan hak asasi manusia dan demokrasi.
-
Policy making by judge, artinya tempat meyelesaikan konflik antara legislatif dan eksekutif. Mahkamah Agung harus dapat memberikan pertimbangan. Menyangkut judicial system, ini erat kaitannya dengan adanya good governance
-
Adanya badan legislatif yang kuat.
-
Kekuasan eksekutif yang profesional dan bebas KKN.
-
Kekuasaan kehakiman yang independent.
-
Keberadan Civil soceity yang mantap
-
Keberadaan leadership sistem yangmempunyai komitmen yang kuat terhadap supremasi hukum.