Menemukan Wajah di Balik Kejahatan Siber

Jakarta ( cMczone.com ) Trend kejahatan di masa depan akan banyak diwarnai oleh kejahatan siber, atau kejahatan dunia maya yang memanfaatkan teknologi informatika sebagai instrumen dalam meracik modus operandinya. Pelangi di horizon kriminalitas akan menambah warna dan ornamen-nya sehingga untuk menguak kriminalitas masa depan diperlukan kecerdasan dan keluwesan untuk berdamai dengan pengetahuan dan teknologi kontemporer.

Dede Farhan Aulawi seorang pemerhati Keamanan Strategis ketika diajak berbincang ringan di sebuah Café – Jakarta, Selasa malam ( 12/11 ) mengatakan bahwa merujuk pada laporan resmi Cybercrime Report Tahunan menunjukkan bahwa biaya cybercrime akan naik menjadi $ 6 triliun pada tahun 2021, sehingga penggunaan alat dan teknik yang paling canggih untuk menemukan wajah di balik kejahatan dunia maya menjadi sangat penting. Motif kejahatan bisa karena alasan iseng / senang – senang, finansial, politik, ideologi atau yang lainnya.

Baca Juga :   Besok, Panglima TNI Kunker ke Tanjungpinang

Mungkin kita masih ingat peristiwa tahun 2002, dimana Gary McKinnon menginfiltrasi 97 komputer AS dan NASA. Peretasannya dianggap sebagai “peretasan komputer militer terbesar sepanjang masa. Pihak berwenang AS menuduhnya menyebabkan kerusakan $ 800.000 yang menyebabkan mereka ingin dia diekstradisi atas tuduhan terorisme. Ujar Dede.

Ada juga peristiwa sebelumnya dimana orang bernama Kevin David Mitnick menjadi peretas yang paling dicari Amerika. Di usia 12, ia sudah mampu melakukan kejahatan menggunakan rekayasa sosial untuk mem-bypass sistem kartu punch dari bus di LA. Lalu usia 16 tahun, dia mengakses ke jaringan komputer Digital Equipment Corporation (DEC) dan mencuri perangkat lunak senilai $ 1 juta. Ia melakukan semua ini tanpa motif nyata selain bersenang-senang.

Lalu ada anak bernama Jonathan James seorang jenius komputer yang mampu meretas NASA dan Pentagon di usia 15 tahun, yang menimbulkan kerugian sekitar $ 1,7 juta. Tidak terlacak sampai suatu ketika dia sendiri mengakui kesalahannya. Padahal Departemen Pertahanan AS pada saat itu dikenal memiliki sistem pengamanan siber yang paling aman.

Baca Juga :   Upaya Musnahkan Corona, Polres Tanjungpinang Rutin Berikan Himbauan pada Masyarakat

Kasus Jonathan belum selesai, muncul lagi Michael Calce. Di usia 15 tahun ia sudah mampu membobol perusahaan-perusahaan terkemuka seperti Amazon, Dell, CNN, eBay, dan Yahoo dengan menyuntikkan serangan DoS, yang membuat perusahaan-perusahaan raksasa ini bertekuk lutut dan menelan kerugian sekitar CAD $ 1,2 miliar.

Ada lagi Max Ray Butler yang memprogram malware untuk mencuri data terkait kartu kredit. Lalu muncul Albert Gonzalez yang dikenal dengan nama “cumbajohny,” “soupnazi,” dan “segvec.” Ketika berusia 14 tahun, ia meretas ke NASA. Dia ditangkap pada tahun 2003 karena menjadi bagian dari kelompok penjahat cyber, ShadowCrew, yang biasa mencuri dan menjual kembali detail kartu kredit secara online. Kemudian pada tahun 2006, ia kembali terlibat dalam kegiatan peretasan dengan mencuri dan menjual kembali sekitar 170 juta kartu menggunakan injeksi SQL untuk membuat backdoors dalam sistem berbagai perusahaan perusahaan. Dia menggunakan backdoors ini untuk pencurian data menggunakan packet sniffing, khususnya, ARP-spoofing.

Baca Juga :   Jadikan PT. DI Pusat Pengembangan Teknologi Kedirgantaraan dan Pertahanan Udara

“ Serapi – rapinya melakukan kejahatan, pasti ada jejak yang tertinggal. Melalui penelusuran jejak yang berliku di ruang maya yang hampa, sebagian berhasil ditangkap dan sebagian lagi masih banyak yang belum terungkap. Modernisasi zaman yang menjanjikan kemudahan dalam memanjakan manusia, ternyata terselip ancaman potensial yang menggoyahkan sendi – sendi sistem keamanan. Namun untuk mengungkap semua peristiwa kejahatan siber ini bukanlah mudah dan gratis, tentu harus ada ongkos yang dibayar. Baik berupa investasi sumber daya manusia maupun pembelian perangkat alat yang memiliki sistem teknologi yang canggih “, ujar Dede mengakhiri perbincangan.