Korupsi Berjamaah Di Asuransi Jiwasraya

Jakarta,(cMczone.com) – Sidang lanjutan kasus Jiwasraya yang digelar pada Rabu (10/6) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, menampilkan sebanyak enam terdakwa yakni Beny Tjokro, Hary Prasetyo,, Hendrisman Rahim, Heru Hidayat, Syahmirwan, Joko Hartono Tirto, yang mengikuti persidangan lanjutan dengan Jadwal Pembacaan Eksepsi oleh Kuasa Hukum terdakwa.

Dalam persidangan kali ini, Eksepsi yang dibacakan melalui perwakilan kuasa hukum terdakwa  Soesilo Aribowo, SH mengaku bakal membuktikan bahwa kliennya tidak bisa ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi di Jiwasraya. Apalagi, proses jual beli saham TRAM  dan PT Inti Agri Resources Tbk (IKP) oleh Jiwasraya sudah memenuhi ketentuan regulator.

Eksepsi yang diajukan dan dibacakan kuasa hukum terdakwa, antara lain sebagai berikut :

1. Bahwa perkara PT jiwasraya bukanlah perkara Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang didakwakan secara spekulatif dan imajinatif oleh JPU. Bukan merupakan tipikor melainkan peristiwa pasar modal yang juga tidak bisa dikatakan sebagai peristiwa pidana.

2. Selama pejabat direksi yg dipimpin Hendrisman  belum pernah ada kasus gagal bayar dan tidak ada dalam tempus yang  didakwakan oleh jpu menunjukkan adanya kerugian negara , dapat di lihat di setiap laporan keuangan yg telah di audit. tempus Delicti (2008 – 2018)

3. Selain itu, sumber uang yang digunakan PT AJS berinvestasi di saham dan reksadana juga tidak bersumber dari uang negara, melainkan berasal dari premi-premi nasabah PT AJS baik berupa produk non saving plan, saving plan, maupun premi korporasi sebagaimana diakui JPU pada halaman ke-4 Surat Dakwaan. Sehingga bukan keuangan Negara.

Baca Juga :   Abdul Jamal ingatkan agar acara perpisahan tidak dilaksanakan di hotel berbintang

4. Bahwa semua bentuk investasi baik dalam sektor rill maupun industri keuangan mengandung resiko. Tidak mungkin ada suatu investasi yang tidak ada resikonya. Semua pihak yang berinvestasi di bidang mana pun tentu mengetahui hal ini.

5. Bahwa Merupakan hal yang secara umum diketahui dan tidak perlu dibuktikan lagi (notoire feiten) bahwa Efek berupa saham maupun unit pernyertaan Reksadana akan tetap dimiliki oleh pembeli/pemilik (in casu PT AJS) terlepas dari kenaikan ataupun penurunan nilainya. Apabila hari ini nilainya turun, tidak menutup kemungkinan besok atau beberapa waktu ke depan, nilainya akan naik kembali. Hal di atas perlu sampaikan karena melihat betapa JPU tidak  fair dalam menguraikan yang katanya kerugian negara. Perhitungan mengenai yang katanya kerugian tersebut hanya didasarkan pada nilai investasi yang disetorkan PT AJS pada berbagai saham dan reksadana yang kemudian dianggap hilang seluruhnya (mark to zero). Padahal saham itu masih ada yang malah di suspend di bursa efek oleh kejaksaan agung, justru dapat mengakibatkan kerugian negara dan juga publik pemegang saham tbk tersebut.

6. Dakwaan yang disusun JPU juga sangat manipulatif karena dalam setiap menutup uraian mengenai produk-produk reksadana menyatakan: “saham-saham underlying Reksadana merupakan saham-saham yang beresiko atau tidak likuid.” Padahal faktanya, Dalam setiap produk reksadana yang diuraikan tersebut, terdapat saham-saham LQ 45 seperti ANTM, ASII, BMRI dan lainnya. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Surat Dakwaan JPU tidak disusun secara cermat, jelas dan lengkap.

Baca Juga :   BKTM Polsek Kumpeh Ilir Pantau Penyaluran BLT DD Tahap 2

7. Ketidakcermatan dan tendensi negatif JPU juga terlihat jelas dari uraian Dakwaan yang menyatakan tempus delicti perkara ini adalah tahun 2008 – 2018, namun dalam uraian selanjutnya, JPU menilai harga saham (baik yang dimiliki PT AJS secara langsung maupun underlying Reksadana) berdasarkan nilai pasar per tanggal 31 Desember 2019.

8. Bahkan JPU seolah-olah menganggap tidak pernah ada keuntungan yang diperoleh PT AJS dalam periode 2008 – 2018, padahal faktanya keterangan berbagai Saksi dalam Berkas Perkara dengan tegas menyatakan adanya keuntungan yang telah diterima.

9. Disini jelas nyata bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki kemampuan serta pemgetahuan mengenai pasar modal sama sekali.

10. Dengan melihat kinerja Kejaksaan Agung RI dalam perkara ini, apalagi  ditambah dengan bagaimana perkara ini diframing sedemikian rupa melalui media maka wajarlah apabila timbul pertanyaan ada apa sebenarnya dengan Kejaksaan Agung RI di Perkara PT Asuransi Jiwasraya ini, apakah ada individu, kelompok atau kekuasaan politik tertentu bahkan pejabat internal Kejaksaan Agung RI sendiri yang memiliki kepentingan atau ”bermain” dalam perkara ini. Jika hal tersebut benar-benar terjadi membuat miris dan memperihatinkan karena penegakan hukum sudah keluar dari amanat Konstitusi, yang muncul adalah penegakan hukum dengan wajah kekuasaan (undue proces of law)

Baca Juga :   Nenek Ini Menangis Terima Bingkisan Makanan Siap Saji dari Koramil 01/Tanjungpinang dan YMI

Pada kesempatan yang sama kepada awak media, kuasa hukum ke enam terdakwa Susilo Aribowo, SH mewakili Tim kuasa hukum menyampaikan bahwa dakwaan jaksa pada sidang perdana tidak mendasar diikarenakan perkara ini bukanlah perkara seperti yang disangkakan namun perkara ini lebih berkaitan ke persoalan pasar modal.

Sebab menurut Susilo bahwa kalau pun ada pelanggaran, harus mengacu pada UU Pasar Modal tetapi yang didakwakan oleh JPU adalah tindak pidana korupsi, dikatakan bahwa Jiwasraya dirampok secara bersama sama oleh para terdakwa sehingga dianggap merugikan keuangan negara,

berdasarkan perhitungan dari BPK terjadi kerugian negara sebesar 16,8 triliun Rupiah, namun Dari dasar perhitungan BPK, aset yang di dalam reksadana dianggap nol padahal di dalam reksadana termasuk saham saham blue chip atau LQ 45 dan uang hasil korupsi yang dituduhkan oleh JPU  dan ditujukan untuk dinikmati para terdakwa.

” Seharusnya  undang – undang (UU) yang digunakan adalah UU pasar modal dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang punya kewenangan bukan UU Tipikor,”  kata Soesilo.

Dalam sidang pembacaan Eksepsi ini, perwakilan  kuasa hukum Susilo Aribowo, SH berharap agar Hakim dapat mengetahui duduk dari perkara yang sebenarnya dalam kasus Jiwasraya ini.

Dan sebagai dasar penyeimbang kepada hakim agar tidak memutuskan perkara ini berdasarkan Opini Publik, Atensi Pejabat yang berwewenang ataupun pesanan dari pihak tertentu, namun diminta agar hakim dapat dengan bijaksana dalam melihat dan memutuskan perkara ini kedepannya.(Tim)