cMczone.com, Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal jakarta yang konsen dibidang kebijakan publik menyoroti, suatu perkara hukum dapat diperiksa dan diselesaikan secara perdata atau secara pidana.
Didalam beberapa kasus, perkara pidana dan perdata bahkan dapat berjalan secara bersamaan.
Dalam kasus tersebut, perkara mana yang harus didahulukan untuk diperiksa dalam kasus demikian, apabila terdakwa dijatuhi vonis pidana, apakah korban dari tindak pidana tersebut tetap dapat menggugat perdata untuk ganti rugi terhadap si terdakwa.
Bagaimana ketentuannya !
Kita akan membahas mengenai bagaimana suatu kasus pidana dan perdata yang diperiksa secara bersamaan diselesaikan.
Selain itu, kita juga akan membahas apakah vonis pidana mengesampingkan gugatan perdata, ketentuan mengenai hal tersebut, serta kaitannya dengan asas larangan dituntut untuk dua kali.
Perdata atau Pidana Dahulu.
1. Berdasarkan Pasal 131 Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, Mahkamah Agung dapat menentukan cara penyelesaian untuk perkara yang tidak diatur dalam undang-undang. Dengan dasar ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Perma Nomor 1 Tahun 1956 yang mengatur mengenai hubungan pada kasus yang melalui pemeriksaan pidana dan perdata.
2. Pasal 1 Perma Nomor 1 Tahun 1956 menjelaskan bahwa jika dalam pemeriksaan perkara pidana terdapat sengketa perdata mengenai barang atau hubungan hukum antara dua pihak, maka pemeriksaan perkara pidana dapat ditunda hingga ada keputusan dari Pengadilan terkait perkara perdata tersebut.
Dengan kata lain, perkara perdata dapat diselesaikan terlebih dahulu sebelum memutuskan perkara pidana.
* Pada sistem peradilan Indonesia, terdapat konsep prejudiciel geschil yang mengacu pada sengketa yang harus diputuskan lebih dulu sebelum perkara di belakangnya.
Konsep ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1980, yang mencakup dua jenis: Question prejudicielle a l’action yang terkait dengan perbuatan pidana tertentu sebelum pertimbangan perdata, dan Question prejudicielle au jugement yang berkaitan dengan Pasal 81 KUHP yang memberi kewenangan hakim pidana untuk menunda pemeriksaan hingga putusan perdata.
* Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1956 memberi kewenangan pada Hakim untuk memilih menunda persidangan pidana atau melanjutkan persidangan meskipun ada sengketa perdata yang sedang diperiksa pada waktu yang sama. Namun, dalam hal adanya perkara yang diajukan secara perdata dan pidana pada waktu yang sama, tentunya lebih baik untuk menunda perkara pidana dan menunggu putusnya perkara perdata.
Meskipun demikian, dalam konteks tertentu, undang-undang memerintahkan untuk penyelesaian perkara pidana lebih dahulu.
Hal ini misalnya dapat dilihat pada pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 25 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan agar “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.”
* Secara singkat, penundaan persidangan pada dasarnya bergantung pada kasus yang terjadi dan kewenangan dari Hakim.
Dapatkah Digugat Perdata setelah Vonis Pidana.
* Secara garis besar, jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah bisa.
* Vonis pidana tidak mengesampingkan adanya kesempatan untuk gugatan perdata.
Dalam hukum acara, dikenal prinsip “ne bis in idem” atau larangan ganda menuntut bahwa seseorang tidak boleh dihukum dua kali atas tindakan yang sama.
1. Prinsip ini diakui dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 18 ayat (5), yang melarang seseorang dituntut kembali dalam perkara yang sama setelah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
2. Seseorang yang telah dihukum dalam perkara pidana masih dapat diajukan gugatan perdata terkait tindakan pidananya di pengadilan perdata.
3. Disebabkan oleh perbedaan mendasar antara hukum pidana dan hukum perdata dalam hal substansi dan fungsinya.
4. Hukum pidana mengatur perbuatan yang melanggar hukum dan sanksinya, sementara hukum perdata mengatur hubungan hukum antara individu.
Bahkan, dalam praktiknya, putusan pidana dapat digunakan sebagai bukti dalam gugatan perdata terhadap pelaku pidana.
Putusan tersebut dapat menjadi alat bukti otentik yang mendukung gugatan perdata, memberikan keyakinan kepada hakim perdata bahwa pelaku benar-benar melakukan tindakan yang digugat.
Meskipun begitu, dalam memutus perkara, Hakim tidak terikat pada putusan perkara perdata.
Meskipun prinsip “ne bis in idem” berlaku, seseorang yang telah dihukum pidana masih dapat diajukan gugatan perdata terkait tindakan pidananya di pengadilan perdata.
Upaya Hukum Perdata setelah Adanya Vonis Pidana.
* Kita telah mengetahui bahwa vonis pidana tidak mengesampingkan adanya gugatan secara perdata.
Kita membahas mengenai upaya hukum perdata setelah adanya vonis pidana.
Dasar hukum permohonan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Unsur-unsur yang diperlukan untuk mengajukan gugatan ini adalah adanya:
1. Perbuatan yang melawan hukum.
2. Kesalahan.
3. Kerugian yang timbul.
4. Adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan dan kerugian.
Pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kapan saja.
* KUHPerdata tidak mengatur secara rinci bentuk dan rincian ganti rugi, sehingga penggugat dapat mengajukan klaim berdasarkan kerugian yang nyata (materiil) atau kerugian yang tidak dapat diukur dengan uang (immateriil).
Pasal 1365 KUHPerdata memungkinkan beberapa jenis tuntutan perbuatan melawan hukum, termasuk ganti rugi dalam bentuk uang atau barang, pernyataan bahwa perbuatan tersebut melanggar hukum, larangan melakukan perbuatan tertentu, dan lainnya.
Pihak yang menuntut ganti rugi biasanya harus membuktikan besarnya kerugian.
Namun, jika sulit dibuktikan, hakim dapat menentukan ganti rugi berdasarkan pertimbangan keadilan.
Upaya Hukum berupa Permohonan Restitusi.
* Selain upaya hukum perdata, korban dalam suatu tindak pidana dapat mengajukan permohonan restitusi.
Permohonan restitusi diatur melalui Perma Nomor 1 Tahun 2022 yang mengatur mengenai teknis penyelesaian permohonan hak restitusi dan kompensasi.
Perlu dipahami bahwa, Perma Nomor 1 Tahun 2022 ini diatur secara limitatif berlaku terhadap :
1. Permohonan restitusi atas perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia (“HAM”) yang berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK); dan
2. Permohonan kompensasi atas perkara tindak pidana pelanggaran HAM yang berat dan terorisme sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Permohonan ini dapat diajukan langsung ke pengadilan atau melalui LPSK, dengan batasan waktu tertentu.
1. Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan restitusi mencakup identitas pemohon, identitas korban jika pemohon bukan korban,
2. uraian tindak pidana, identitas terdakwa, uraian kerugian, dan besaran restitusi yang diminta.
Permohonan restitusi dapat meliputi ganti rugi atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan, kerugian materiil dan immateriil akibat penderitaan yang berkaitan langsung dengan tindak pidana, biaya perawatan medis dan/atau psikologis, serta kerugian lain yang diderita oleh korban sebagai akibat tindak pidana.
Apabila korban tidak mengajukan permohonan restitusi selama persidangan, permohonan ini tetap dapat diajukan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. (Arthur Noija/ Tim)