Editorial cMczone.com
Oleh: Redaksi cMczone.com
Riau kembali menjadi sorotan nasional.
Gubernurnya, Abdul Wahid, terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin malam (3/11/2025).
Berita ini bukan sekadar kabar hukum, tapi juga tamparan keras bagi moral birokrasi dan nurani publik di provinsi yang pernah dikenal sebagai “negeri Melayu yang beradat”.
Ini bukan yang pertama.
Sejarah politik Riau mencatat, dua gubernur sebelumnya juga pernah tersandung kasus korupsi. Kini, pola yang sama kembali terulang — menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya soal individu, tetapi sistem yang gagal belajar dan gagal malu.
Kekuasaan Tanpa Etika
Korupsi tidak lahir dari kekuasaan semata, melainkan dari kekuasaan yang kehilangan etika.
Ketika jabatan dipandang sebagai hak untuk menikmati, bukan amanah untuk melayani, maka celah moral terbuka lebar.
Kekuasaan yang tidak diawasi oleh nurani, pada akhirnya akan diawasi oleh KPK.
Kasus Abdul Wahid menjadi contoh bahwa rotasi pejabat, pergantian kepala daerah, atau slogan reformasi birokrasi tidak akan berarti apa-apa tanpa transformasi moral dan transparansi sistemik.
Lemahnya Pengawasan Internal
Selama ini, pengawasan internal di banyak daerah hanya formalitas.
Inspektorat, auditor, dan mekanisme check and balance sering kali tumpul ketika berhadapan dengan “kemauan atasan”.
Sistem tender dan pengadaan menjadi ladang rawan manipulasi, terutama ketika tidak ada keberanian untuk menolak perintah yang salah.
KPK boleh menangkap, tapi akar masalahnya tetap di daerah.
Selama budaya “asal bapak senang” masih hidup, selama jabatan dipahami sebagai ladang balas budi politik, maka OTT hanya akan menjadi rutinitas lima tahunan — berganti nama, berganti pelaku, tapi dengan dosa yang sama.
Publik Harus Mengawal
Kasus ini harus menjadi momentum bagi rakyat Riau untuk menuntut tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.
Kita tidak bisa hanya mengeluh di warung kopi, tapi juga harus mengawasi, menanyakan, dan menagih akuntabilitas.
Pers, termasuk media lokal seperti cMczone.com, punya tanggung jawab moral:
tidak hanya memberitakan fakta, tapi mengawal nilai.
Karena di negeri ini, kejahatan kekuasaan sering kali tidak tumbuh karena pelakunya kuat, tapi karena rakyatnya diam.
Keadilan Tidak Akan Tumbuh di Tanah yang Apatis
OTT ini harus dibaca bukan hanya sebagai penindakan hukum, tapi juga sebagai sinyal bahwa sistem pemerintahan daerah kita sedang sakit.
Dan penyembuhannya bukan hanya di tangan KPK, tapi juga di tangan publik — di ruang sidang, di meja redaksi, di forum warga, dan di hati nurani para pejabat yang masih jujur.
Jika rakyat lupa, maka sejarah akan mengulang dirinya sendiri.
Dan Riau, lagi-lagi, menjadi panggung yang sama — tempat kekuasaan diuji, dan nurani publik ditagih keberaniannya.






