Kenapa Napoleon Bonaparte Lebih Takut Sama Wartawan ?

Oleh Yal Aziz

Ada ungkapan hiperbolik dari seorang panglima perang Perancis, Napoleon Bonaparte. Kenapa? Karena ungkapannya bisa dikatakan sangat berlebihan. Apalagi dia sosok panglima perang hebat yang telah memimpin berbagai peperangan di Eropa. Bahkan, Napoleon memiliki pengaruh yang besar terhadap persoalan-persoalan Eropa selama lebih dari satu dasawarsa ketika memimpin Prancis melawan koalisi dalam Perang-Perang Napoleonis.

Secara historis, Napoleon memenangkan kebanyakan dari perang-perang ini dan hampir semua pertempuran-pertempurannya, dengan cepat memperoleh kendali Eropa.

Dalam persoalan-persoalan sipil, Napoleon mempunyai sebuah pengaruh yang besar dan lama dengan membawa pembaruan liberal ke negara-negara yang dia taklukkan, terutama ke Negara-Negara Rendah, Swiss, Italia, dan sebagian besar Jerman.

Tapi kenapa Napoleon takut dengan pena wartawan. Katanya : “Saya lebih takut menghadapi satu pena wartawan daripada seribu bayonet musuh.”

Baca Juga :   Karir Teddy

Bagi kita, ungkapan itu hiperbolik. Tapi, tidak bagi seorang Napoleon Bonaparte. Dia telah membunuh banyak tentara musuh. Lawannya telah dia ditaklukkan. Ternyata, tentara musuh itu biasa saja. Mereka mati dengan timah panas peluru.

Ternyata bagi Napoleon yang lebih membahayakan adalah wartawan. Peluru-peluru yang ditembakkan wartawan adalah huruf-huruf yang membentuk kalimat. Bedanya, jika peluru timah panas mengenai badan tapi peluru huruf itu mengenai otak dan menyusuk hati.

Dari otak itu mengubah kognisi. Dari kognisi mengubah afeksi dan psikomotorik. Lambat laun, wartawan pun bisa menggerakkan banyak orang: se-kampung, se-kota, se-propinsi, se-bangsa dan bahkan se-dunia.

Masih ingat revolusi Mesir? Revolusi negeri Piramida yang terkenal dengan ummud dunya itu terjadi gara-gara hal sepele: status akun facebook yang menuntut perubahan. Walhasil, dari situ terjadi revolusi dan menumbangkan rezim otoriter dan diktator sebelumnya: Husni Mubarak.

Baca Juga :   Rio Rinaldi | Hilangkan Stigma Buruk Para Mantan Pecandu Narkoba

Satu kalimat yang ditembakkan wartawan akan mengenai ribuan bahkan jutaan orang. Dahsyat! Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa Presiden Amerika, Bill Clinton. Reputasinya hancur pasca kasus selingkuh dengan Monica Lewinsky terbongkar oleh wartawan.

Itu kenapa pers sangat penting. Dia berperan sebagai alat kontrol sebuah negara. Bahkan media digadang-gadang menjadi pilar demoksrasi setelah eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Negara tanpa media akan menjadi negara yang tirani dan tak tersentuh. Tanpa alat kontrol. Negara akan cenderung berbuat zalim dan lalim. Itu kenapa pemerintah yang akan berlaku sewenang-wenang akan memberedel dan membunuh media. Seperti zaman orde baru di Indonesia.

Zaman reformasi sekarang, orang bebas berbicara. Asal sesuai aturan dan kode etik. Siapapun juga bisa menjadi wartawan. Bahkan sekarang banyak media yang menyediakan rubrik citizen jurnalism. Siapapun bisa menulis di rubrik ini. Tanpa terkeculi.

Baca Juga :   Selamatkan Pendidikan Dimasa Pandemi Untuk Bonus Demografi Indonesia 2030-2040

Undang-undang juga telah menjamin itu. Disebutkan dalam UU No 40 tahun 1999 wartawan adalah orang bukan karyawan. Undang-undang ini revisi dari UU No 21 tahun 1982 yang mengatakan wartawan adalah karyawan perusahaan pers (Dasar-Dasar Jurnalistik, Ainur Rohim Faqih, SH. M.Jum).

Jadi kini, siapapun bisa jadi wartawan. Melakukan proses jurnalistik dan mengirimkannya ke media atau blog pribadi dan media sosial. Wartawan sendiri dianggap profesi cukup bergengsi. Dia dianggap penting bahkan oleh pihak kepolisian sendiri.

Jadi kini, kita tentu berharap kepada wartawan untuk selalu bepegang teguh dengan kode etik jusnalistik dan mematuhi rambu-rambu dari UU Nomor 40 Tahun 1999.