Sampah Domestik: Dari Regulasi ke Budaya Disiplin

cMczone.com– Di banyak sudut kota, pemandangan yang sama terus berulang: plastik melayang di selokan, sisa makanan menumpuk di pinggir jalan, dan kantong sampah yang tak dipilah menunggu truk pengangkut. Pemerintah sebenarnya sudah bergerak melalui undang-undang, peraturan daerah, dan program nasional. Namun kenyataan di lapangan tetap menohok: regulasi tanpa penegakan dan perubahan budaya hanya berakhir sebagai arsip kebijakan.

Dalam perspektif valuasi sumber daya alam dan lingkungan, sampah bukan sekadar urusan kebersihan, melainkan kerugian ekonomi yang nyata. Air bersih, tanah subur, dan udara sehat memiliki nilai tinggi bila dihitung secara ekonomi. Tetapi budaya membuang sampah sembarangan justru mempercepat kerusakan: sungai tercemar sehingga biaya pengolahan air meningkat, tanah kehilangan daya serap karena tertutup plastik, dan udara kian tercemar akibat pembakaran liar. Dengan kata lain, perilaku sehari-hari masyarakat langsung memengaruhi nilai dan keberlanjutan sumber daya yang kita miliki.

Baca Juga :   Habiburrahman | Pentingnya Kualitas Pribadi Konselor Dalam Konseling

Berbagai kampanye sudah dijalankan—dari Gerakan Indonesia Bersih, Pilah Sampah dari Rumah, hingga World Cleanup Day. Aksi ini penting dan patut diapresiasi karena membangun kesadaran sementara. Namun kampanye episodik belum cukup mengubah kebiasaan mayoritas masyarakat. Perilaku membuang sampah sembarangan masih kerap kita jumpai, terutama di ruang publik dan saat bepergian.

Mengapa kampanye dan regulasi belum berhasil? Karena perilaku sosial tidak berubah hanya dengan penyuluhan singkat. Butuh kombinasi edukasi berkelanjutan, layanan publik yang memudahkan, serta penegakan aturan yang konsisten. Tanpa penegakan, masyarakat yang taat akan merasa dirugikan; norma sosial pun gagal terbentuk.

Ada tiga kebijakan yang bisa saling melengkapi:

Pertama, kampanye harian yang konsisten. Pesan “jangan buang sampah sembarangan” harus hadir setiap hari di media massa, layaknya iklan layanan masyarakat tentang bahaya rokok atau cuci tangan. Pesan sederhana dan berulang akan lebih mudah membentuk norma sosial.

Baca Juga :   Margi Santoso | Fenomena Pasca PILPRES

Kedua, sistem tilang untuk pelanggar di jalan. Jika melanggar lalu lintas bisa ditilang, mengapa tidak perilaku membuang sampah dari kendaraan? Tilang memberi efek jera sekaligus sinyal tegas bahwa negara serius.

Ketiga, penerapan denda yang adil dan transparan. Denda bukan sekadar hukuman finansial, melainkan instrumen untuk membentuk disiplin kolektif. Namun denda harus diiringi fasilitas yang memadai: TPS, pengangkutan teratur, dan pemilahan sampah. Menghukum tanpa memberi solusi hanyalah kebijakan pincang.

Selanjutnya, kita perlu mengubah cara pandang terhadap sampah: bukan sekadar masalah teknis petugas kebersihan, tetapi persoalan tata nilai bersama. Regulasi sudah ada, gerakan masyarakat sudah berjalan. Kini yang dibutuhkan adalah keberanian pemerintah menegakkan aturan secara konsisten, serta kesediaan warga menjadikannya budaya.

Baca Juga :   Pak Ansar Ahmad yang Saya Kenal

Sampah akan selalu ada selama kita hidup. Persoalannya bukan menghilangkan sampah, melainkan bagaimana membangun tata kelola dan budaya yang membuat sampah ditangani dengan baik: dipilah, dikumpulkan, dan diolah.

Kebersihan kota bukan hanya wajah lingkungan, melainkan juga cermin peradaban warganya.

Oleh : Zulhelmi & Rahab.
Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Jenderal Soedirman.